three: glimpse of the old times

627 112 124
                                    

\\Bangkok, Februari 2014

-

BECKY

Freen Sarocha terlelap dengan amat tenang.

Tangannya terlipat di perut selagi dadanya turun naik dengan teratur. PiFin mengingatkanku pada Princess Aurora. Tambahkan gaun pesta berwarna biru dan perempuan berpiyama ini sempurna menjelma Sleeping Beauty.

Superioritas ibuku tak ada lawan. Mom hanya membujuk sekali dan PiFin lantas menurut. Aku menahan mataku berputar. Tidak terhitung berapa banyak aku memohon PiFin selalu saja beralasan. Aku merengek—lupakan. Sekalipun sebal aku tetap yang paling diuntungkan. Kubilang, jika menginap PiFin hanya boleh tidur di kamarku. Tidak ada tawar-menawar.

Selepas makan malam aku dan PiFin masuk ke kamar.

Kami mengobrol sangat sebentar. Pillow talk? Nope. Barangkali sebab beraktivitas sepanjang hari—berenang, spa, membantu Mom di rumah kaca—sehingga kantuk dengan mudah mengakrabi. Mungkin juga karena aroma tubuh PiFin yang menenangkan sekaligus melenakan. Aku tidak melewatkan kesempatan memeluk perempuan bermata indah itu.

"Phi ...." Aku membelai hidungku ke pipinya. Di balik tirai matahari mengintip malu-malu. "Bangun, PiFin. Ayo. Kita sudah sepakat semalam," lirihku di sisi telinganya.

Perempuan itu bergerak kecil. Sepasang tangannya mengulur, memeluk pinggangku. Aku bergetar menahan tawa dan PiFin kian mengetatkan dekapan. Bibir penuhnya tersenyum beriringan pelupuk matanya membuka. Dia persis di depanku. Kami dekat, nyaris tak berjarak.

"Tidak ingin lanjut tidur saja?" PiFin bertanya setelah mengintip ke jendela.

"Tidak. Kita harus lari pagi. Come on, Babe."

PiFin melesakkan punggung lebih dalam ke ranjang, berlawanan dengan aku yang berusaha menarik lengannya untuk beranjak. Astaga, perempuan ini benar-benar keras kepala! Renang dan joging masuk dalam daftar February break kami. Baru hari kedua dan dia sudah semalas ini. Haish.

"Phi," aku berkacak pinggang, "aku hitung sampai tiga. Jika PiFin tidak bangun juga, aku akan meninggalkan PiFin sendiri." Aku sama sekali tidak main-main. "Satu, dua ..., ti ...."

"Siap, siap. Saya bangun!" PiFin refleks melompat ke sisi tempat tidur.

Aku tergelak keras. Ya, ampun. "Good girl." Kutepuk lembut puncak kepalanya.

PiFin cemberut. "Bb ...." Dia menegah lenganku. "Setidaknya peluk saya dulu. Bisa, kan?"



\\Cambridge, Januari 2024

-

Aku menatap nanar jendela kaca selagi kereta cepat membawaku menuju Kota London.

Rasanya sudah terlalu lama. Aku bahkan tidak lagi mengingat kapan terakhir kali aku memimpikan dia. Perempuan bermata indah itu. Sejak kami berpisah enam tahun lalu, hanya pada tahun pertama dan kedua aku teramat merindukannya. Memasuki tahun ketiga aku berusaha bangkit, bertahan, dan meneruskan hidup.

Bagaimanapun itu keputusan bersama. Kami melakukannya dalam kesadaran.

Hhh. Masih terekam jelas betapa buruk keadaanku pagi tadi. Kausku basah bermandi peluh sementara pendingin ruangan masih di suhu yang sama. Aku meraup wajah dan duduk terlalu lama. Satu-satunya yang bisa kusalahkan adalah Mister Helmut. Satu perintah dan Tuan Muda Livingston berhasil memboyong hantu masa laluku.

Everything is Enough: Back to YouWhere stories live. Discover now