five: to bid you farewell

681 118 140
                                    

\\Bangkok, Juni 2016

-

FREEN

Musim panas kali ini menjadi musim panas yang tak akan pernah kulupakan.

Aku melakukan banyak hal dalam satu waktu. Melompat turun dari mobil, mengenakan kardigan biru gelapku, dan berlari menyelinap di antara lautan manusia—tidak peduli waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.

Ada untungnya kami—Becca dan aku—rutin lari pagi. Napasku memburu dan aku tidak menurunkan kecepatan kakiku. Kalau saja ponselku dalam keadaan aktif saat ini kami pasti bersama. Menghabiskan detik-detik terakhir sebelum berpisah. Aku sungguh menyesal telah merajuk. Tidak sepantasnya aku menumpukan kesalahan pada gadis Inggris itu.

Becca bilang pesawatnya lepas landas pukul setengah dua belas. Overnight layover di Munich Airport sekitar satu jam sebelum kembali mengudara pukul tujuh keesokan pagi. Jika tidak mengalami keterlambatan Becca akan tiba di Heathrow Airport kisaran pukul delapan waktu setempat. Aku belum pernah berada dalam penerbangan sepanjang itu. Membayangkannya saja membuatku sakit kepala.

Badai realitas menghantamku tanpa ampun. Hatiku dipatahkan tangan tak kasatmata.

Nyaris enam belas jam di udara. Aku dan Becca terpisah jarak sejauh itu. Tidak ada lagi Freen yang bergegas menuju rumah keluarga Armstrong ketika merindukan gadis Inggris-nya. Tidak ada lagi Becca yang dibujuk rayu bermodal dua gelas chaa-nom. Tidak ada lagi kami yang kerap menghabiskan akhir pekan bersama, berbagi banyak hal menyenangkan.

Astaga ..., ini terlalu pedih. Aku meringis, menahan sakit di pusat dadaku.

Tiba-tiba saja, tak ada siapa pun yang menghambat, aku menyetop langkah. Apa sebaiknya aku putar arah, kembali ke rumah, dan bersembunyi di kamarku yang pengap? Perpisahan tak pernah berujung baik. Aku tidak ingin mengenang Becca dalam kepedihan. Tapi, Freen, jika menyerah sekarang tak tahu kapan lagi kalian memiliki peluang berjumpa.

Aku hanyalah anak kemarin sore. Baru saja menyelesaikan tahun pertama di universitas. Aku tidak mempunyai kemampuan mengejar Becca hingga ke Inggris. Entah harus berapa lama menabung untuk dapat membeli tiket pesawat. Kesempatanku hanya malam ini. Setidaknya Becca tahu ada seseorang yang begitu berat melepasnya. Seseorang yang selalu menunggu kapan pun dia ingin kembali.

"Babe!" Becca menubrukku dan memelukku erat. "Aku kira PiFin tidak datang."

Air mata menggenang di pelupuk mataku. Hanya butuh satu kerjapan untuk merabasnya. Kudekap pundak gadis itu, menyalurkan segenap sesak yang mengimpit. Sesuatu nan hangat jatuh di bahuku. Menitik satu per satu. Becca menangis. Oh, Tuhan .... Sedu sedan itu bersulih menjadi riam yang tak kuasa ditangguhkan. Aku ikut tersiksa bersamanya.

Bb, maafkan aku. Kupeluk Becca lebih erat. Maaf karena ketidaksanggupanku untukmu.

"Hei, Bb." Aku menangkup pipinya, membawa wajah malaikatnya ke mataku. "Sudah, ya. Jangan menangis," mohonku. "Matamu bisa bengkak jika terlalu banyak menangis." Aku terkekeh nyeri. "Kepalamu juga bisa sakit. Sudah, ya. Sudah ...."

Becca mengurai ibu jariku dari sudut matanya. "Jangan menahanku," dia berbicara di antara isak perihnya. "Ini terlalu menyakitkan untukku, PiFin." Kami tak lagi peduli di mana keberadaan kami sekarang. "Aku tidak pernah ingin berpisah darimu."

Saya tahu, Bec. Tiada yang lebih memahami ini selain kita berdua.

Dengan mata memejam aku melekapkan kening kami. Tanganku masih di pipi Becca. Lama kami bertahan hingga gemetar di tubuh rapuh itu berangsur memupus. Aku mundur selangkah, menyelia setiap titik di wajah cantiknya yang tampak begitu kuyu. Jikalau situasi normal Becca dan aku tak urung menertawakan betapa buruk penampilan kami saat ini.

Everything is Enough: Back to YouWhere stories live. Discover now