2. Hutan Nightingale

219 12 4
                                    

Anna

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Anna

Aku terperosok ke dalam celah pohon. Meluncur melewati akar kasar yang menyelimutiku dengan tanah berlumpur. Jatuh terguling-guling seperti pegas yang kehilangan batas elastisitasnya.

Punggungku sempat membentur bebatuan. Mendapatkan luka gores baru yang tak kalah menyakitkan dari sebelumnya. Aku refleks mengerang dan harus menutup mulutku rapat-rapat selepasnya.

Mengabaikan godaan untuk berteriak lebih keras karena enggan mempertaruhkan risiko bandit-bandit itu mengetahui keberadaanku, aku menggigit ujung lidahku. Mengundang air mata lebih banyak turun. Takdirku sudah cukup buruk tanpa harus menambahkan satu kesialan lain ke dalamnya.

Aku terus memikirkan nasib Paman Cédric. Apa dia baik-baik saja? Apa dia sudah ... Tidak. Aku menggeleng ketika sensasi kebas yang tajam menohok dadaku seperti tinju api.

Cukup lama sampai akhirnya aku membiarkan tangisku perlahan berubah jadi rengekan putus asa. Air mataku kering. Kepalaku dibanjiri ribuan kenangan tentang Paman Cédric dan mendiang Bibi Ellea yang mengadopsiku dari rumah panti.

Setelah puas, perasaan ganjil yang melingkupiku mendadak hilang seolah-olah itu hanya sihir yang melintasi langit malam di bulan Oktober. Aku lalu berjuang untuk duduk tanpa membuat tulang-tulangku patah. Bersandar dengan hati-hati sambil membersihkan rumput lembap yang menempel di rambutku.

Aku menarik napas. Memaksa udara masuk ke dalam paru-paruku yang terimpit. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku mulai menenangkan diri dan mengamati keadaan sekitar.

Tidak yakin dengan situasi baru yang kulihat, aku mengerjap-ngerjap coba mengenali sekeliling. Apa pepohonan di Hutan Nightingale selalu mengeluarkan fenomena cahaya aneh pada musim gugur? Aku bertanya-tanya sambil memperhatikan bunga morning glory yang tumbuh di samping pohon elm.

Aku menajamkan indra. Mewaspadai sesuatu yang mengintip dari balik semak bunga mawar. Dua ekor rusa dengan warna yang tak lazim tiba-tiba melompat dan lari dengan kecepatan yang mengagumkan.

Mereka segera lenyap tertelan kabut. Meninggalkan bunyi gemeresak dedaunan kering yang kembali terinjak di tempat rusa-rusa itu tadi datang. Belum pulih dari syokku, aku kembali terkesiap saat empat ekor serigala muncul dengan lompatan yang jauh lebih gesit dan mematikan.

Mereka adalah predator raksasa seukuran kuda dengan tinggi delapan kaki. Bulu-bulu tebalnya berkibar diterpa angin. Mereka seperti entitas yang baru saja keluar dari buku mitologi kuno yang diletakkan di rak arsip paling atas perpustakaan tua.

Salah satu dari empat itu kemudian maju mendekatiku, sementara aku beringsut mundur menciptakan sebanyak mungkin jarak. Aku memperhatikan langkahnya yang anggun dan tangguh. Menyiratkan ancaman yang lahir dari sifat buas dan primitifnya secara naluriah.

“Tung-tunggu—”

Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan kalimatku. Tunggu apa? Tunggu aku akan lari? Tunggu aku akan mempersiapkan diri untuk dicabik-cabik?

Tenggorokanku sakit seolah-olah aku baru saja menenggak sepuluh kaleng soda dingin sekaligus. Mengalahkan rasa tidak nyaman yang muncul menghantam pandanganku. Bercak hitam mulai membayangi kelopak mataku yang berat.

Aku menarik napas. Lagi. Lebih banyak dari yang kuperlukan. Tak ingin kesadaranku terkikis dan menyerah terlalu cepat.

Dari pengamatan yang kulakukan, tubuh serigala penasaran itu lebih kecil dibandingkan yang lain. Warna bulunya perpaduan monoton dari cokelat dan merah. Mata besarnya mengingatkanku pada karakter lucu di film animasi.

Dia semakin dekat, sementara aku gemetar dan tak kuasa menggerakkan tubuhku untuk lari. Perutku mendadak mual dijejali ketakutan. Terdesak di tengah-tengah dorongan insting untuk menyelamatkan diri, aku terus mundur sampai tidak ada lagi ruang yang tersisa.

Terkejut dengan respons spontanku, serigala itu mendengking frustrasi. Hidungnya yang basah mengendus-endus ingin tahu. Dua kaki depannya mengais-ngais gelisah dan mata kuningnya menatapku.

Serigala lain yang sejak tadi mengawasi kami, berbulu lebih gelap dari serigala muda yang pemberani, kini ikut bergerak seperti pengintai. Dia tampak marah. Namun, matanya memancarkan kilau rasa penasaran yang sama.

Geramannya parau dan rendah. Mengisyaratkan peringatan. Sudut moncongnya mengembang membentuk seringai tipis, memamerkan deret taring yang siap menerkam, siap menghancurkan.

Lari, Anna! Suara dalam kepalaku membentak. Sekarang.

Se-ka-rang.

Tubuhku membeku ketika serigala lain mendadak muncul dari arah tenggara. Satu ... dua ... tiga ... aku terus menghitung, jumlahnya sembilan ekor. Mereka kawanan dan kawanan pasti memiliki alpha di antaranya.

Tidak sulit menebak yang mana yang memimpin. Tubuhnya paling besar di antara serigala lain. Dengan surai lebat dan indah yang seketika membuatku membayangkan bagaimana teksturnya akan terasa saat aku menyentuhnya.

Yang lain sontak menyingkir memberikan akses bagi sang alpha. Sosoknya mencengangkan. Bulu hitamnya berkamuflase sempurna dalam gelap, kontras dengan mata birunya yang mengingatkanku pada pesona Laut Karibia di musim panas, dan tingginya hampir sembilan kaki.

Dia bukan serigala. Dia monster. Tidak normal. Tidak nyata. Demi Tuhan, serigala macam apa yang memiliki ukuran sebesar itu?

Aku menangkap getaran halus di sepanjang punggung lebar alpha sebelum akhirnya sesuatu yang mustahil terjadi. Dia berubah wujud. Transformasi memukau sebagai manusia dan membuatku mempertanyakan kewarasan yang kupunya.

Dia bagai Dewa Perang yang baru saja pulang ke negerinya untuk mendeklarasikan kemenangan. Rambut pendeknya sehitam bulunya. Struktur wajahnya sempurna dengan garis rahang tegas dan tulang hidung runcing.

Kulitnya seperti kilau gemerlap padang pasir yang tertimpa cahaya bulan dan memiliki mata paling biru yang pernah kulihat. Berbingkai alis tebal dan sorot dingin yang sanggup meruntuhkan nyali siapa pun yang berani menentangnya. Jika biru cerah bisa dilukiskan sebagai warna panas, maka dia akan masuk dalam daftar pria paling luar biasa di abad ini.

Ada bekas luka gores yang melintang asimetris tepat di atas alis kanan hingga ke bagian bawah kelopak matanya. Otot-otot padat bertonjolan dari balik kaus oblongnya yang ketat. Menampilkan dua buah tato motif suku di sisi leher dan lengan kirinya.

"You're hurt. I can smell your blood from miles away." Suaranya berat dan dalam.

Sulit untuk bicara. Rasanya seolah-olah aku telah kehilangan pita suaraku karena gejala faringitis yang parah. Bekas lukanya membuat seluruh perhatianku terpusat pada matanya dan menatap melampaui batas kesopanan yang wajar.

Ketika alpha menghampiriku, dia langsung berhenti di depanku dan berjongkok menyejajarkan posisi kami. Dia begitu dekat hingga aku dapat melihat bintik-bintik es yang cemerlang dalam matanya. Aku terhipnotis dan tenggelam dan tak mampu menemukan kekuatan untuk kembali naik ke permukaan.

Tidak peduli seberapa gigih aku mengayuh, aku tetap hanyut terhempas arus. Aku coba menyangkal, tapi usaha yang kulakukan sia-sia. Ada sesuatu yang familier tentangnya, tentang pria yang sekarang jadi tak terlalu asing ini.

"Kau seharusnya tidak bisa masuk ke Hutan Nightingale, Anna." Aksennya eksotis, kental dengan pengucapan huruf vokal g dan r yang unik, bahasa Celt kuno yang jarang dilisankan lagi.

Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Tubuhku goyah oleh gravitasi yang mulai pudar. "Ba-bagaimana kau tahu namaku?"

Suaranya tak lagi terdengar. Namun, aku masih dapat membaca gerak bibirnya sebelum pandanganku tiba-tiba kabur. Aku tersesat jauh dalam gelap.

***

Crescent MoonWhere stories live. Discover now