22. Aku Harus Pergi

1.3K 120 0
                                    

"Aku juga tidak ingin mati, Javas!"

Ruang makan itu lagi-lagi ditelan kesunyian mencekik. Regina menahan air matanya, meletakkan sendok lalu beranjak dari kursi.

"Mau ke mana?" tanya Javas.

Mendengar itu langkah Regina berhenti. Termenung sebentar ... gadis itu sadar.

Memangnya Regina bisa pergi ke mana? Tubuh lemah yang bisa mati kapan saja, para manusia juga tidak mengharapkan kehadirannya. Mansion ini milik Javas, Regina tidak tahu harus ke mana selain bergantung pada Javas. Saat itu Regina sadar, betapa menyedihkan hidupnya.

"Aku tidak tahu." Regina menjawab setelah termenung lama. "Ke mana aku harus pergi? Para manusia mengharap kematianku, tubuh lemah ini juga tak tahu sampai kapan bisa bertahan."

Javas segera mendekati istrinya. "Ingat kamu masih punya aku."

"Maka dari itu jangan pergi," Regina memegang kedua tangan Javas. "Aku takut sendirian."

"Tapi aku juga takut melihatmu pergi lagi." kekeuh Javas, "Aku tak bisa jika harus melihatmu kesakitan tanpa berbuat apa-apa."

Merasa sia-sia, kini Regina melepas genggamannya, "Terserah. Perdebatan yang sama ini tidak akan selesai. Terserah padamu, aku mau tidur."

Tak menoleh ke belakang, gadis itu menuju kamar yang berada di lantai dua. Diam-diam regina jadi ingat, dulu, gadis itu bahkan kesusahan menaiki tangga untuk pertama kalinya. Di atap mereka berbagi keindahan malam, menikmati bintang, Javas sangat baik.

Oh ... Regina juga baru sadar. Dia sudah bisa berbicara lancar. Sejak kapan? Gadis itu tersenyum mengingat seberapa besar jasa Javas untuk segala hal di kehidupan Regina. Sesampai di kamar ia langsung merebahkan tubuhnya. Tertidur dalam tiga hitungan, Regina memang lelah. Berdebat tentang hal yang itu-itu saja.

Entah apa yang dilakukan Javas di lantai bawah. Walau Regina sudah berkata terserah, hatinya tetap kekeuh ingin Javas menemaninya. Memang, hati wanita, gengsi seluas samudra. Regina berharap saat gadis itu membuka mata, Javas ada di sampingnya dengan senyuman hangat.

Malam itu, Regina bermimpi.

Menjadi gadis sehat yang melambung bebas bersama Javas menuju awan bebas melintas. Berkenalan dengan burung, mengintip ujung pelangi, bermain-main lama tanpa takut hilang lagi kesadaran. Andai Regina tidak sakit-sakitan, pasti ... menyenangkan.

Regina tidak ingin dikasihani, dan Regina tidak ingin mati. Tubuh rimpuh entah sampai kapan dia bisa bertahan. Jika Regina harus melepas napas terakhirnya tanpa dekapan harsa Javas, hatinya pasti penuh kecewa.

"Sudah pagi." Regina terbangun dari mimpinya, langit telah mengusir temaram. Matahari bersinar benderang.

"Javas?"

Aneh, biasanya Javas menjadi objek pertama yang Regina lihat di pagi hari. Janggalnya pagi ini Mansion terasa begitu sepi. Hati Regina bergemuruh muram durja, kecemasan yang menemani tidurnya kembali nampak di sudut benak. Dengan kaki yang begitu lemas itu dipaksanya berjalan, menuruni tangga, mencari sosok yang amat ia idam-idamkan untuk pertama kali di hidupnya.

"Javas!"

Dia ... menghilang.

Semangkuk sup terlihat di meja makan, bersama secercah surat sederhana.

Sayangku, aku harus pergi. Entah ke sudut benua mana lagi aku harus mencari obat yang bisa mengobati kesakitanmu.

Percayalah jika kepergianku bukan semata karena aku sudah tak mencintaimu. Aku pergi untuk memperjuangkan mimpi yang kamu idam-idamkan dalam hidupmu.

Sayang, aku pasti akan kembali dengan harapan.

- Javas

Regina merasa dikhianati dengan keputusan Javas yang akhirnya pergi. Benar, Javas pergi untuk memperjuangkan hidupnya. Tapi apa Regina bisa bertahan sampai Javas kembali dengan harapan? Jika Regina harus melepas napas terakhirnya tanpa dekapan hangat dari Javas, hati gadis itu akan diredam kecewa.

Prang!

Regina melempar semangkuk sup yang dibuat Javas pagi-pagi sekali. Kembali dengan harapan? Omong kosong.

Tubuh rimpuh Regina pasti tidak lama lagi bisa bertahan.

[END-TERBIT] REGINA: Don't Want to DieWhere stories live. Discover now