39. Kencan

559 43 1
                                    

"Kek, akan kubeli balok ukir bintang ini."

Kakek seniman itu mendongak antusias lantas menyodorkan sebuah balok yang diminta Javas. "Harganya hanya 2 perunggu!"

Sebuah uang emas tiba-tiba muncul di telapak tangan Javas, "Ini uangnya, Kek."

"Astaga, ini sangat banyak!" kakek sengan gelisah mengembalikan uang itu. "Apa kau salah menyodorkan uang, Tuan?"

"Aku memberi uang yang benar." jawab Javas tulus. "Ambil saja kembaliannya dan pastikan tidak tercuri copet, Kek."

"Terima kasih! Terima kasih, Tuan!"

Javas kembali mendekati Regina dengan senyuman bangga, salah satu alisnya terangkat seolah menunggu pujian yang pasti akan segera mendarat padanya.

Regina tersenyum lucu menerima balok ukir itu, lantas ia ucapkanlah kalimat pujian yang sudah Javas tunggu. "Kamu sungguh pengertian. Bagaimana bisa kamu begitu manis, Javas?"

"Entah. Aku memang suami yang baik, kan." ujar Javas mengangkat kedua bahu dengan masih tersenyum bangga.

"Gitu, ya?"

Javas mengangguk lalu mengedarkan pandangannya untuk mencari hal lain yang Regina suka. Tetapi, saat fokus lelaki itu begitu serius, tiba-tiba ....

Regina berinisiatif mencium pipinya lebih dulu.

Javas tersentak. Perlahan-lahan menoleh ia menatap Regina yang menutup mulutnya malu-malu. Mata lelaki itu tak mengedip sedikitpun menunjukkan betapa terkejutnya ia melihat sikap Regina yang begitu menggemaskan hari ini.

"Sayang!" Javas tersenyum lebar dan memeluk Regina erat, di sela-sela pelukan hangat ia sempatkan mencium pipi Regina yang seempuk donat. "Kamu sangat menggemaskan hari ini?"

"Aku harus menggemaskan di hari kita berkencan, kan?" jawab Regina sambil membuang pandangan, malu.

"Oh, benar. Ini kencan." Javas melepas pelukannya begitu cepat. "Harusnya aku membuat persiapan lebih untuk kencan kita!"

"Untuk apa, ini sudah cu—"

"Tunggu, tutup matamu." potong Javas tidak sabar. "Tutup matamu selama tiga detik, sayang."

Regina hanya menurut dan menutup matanya. Kali ini tiga detik kali ini terasa begitu lama. Mungkin karena lubuk hati Regina yang tak sabar bertanya-tanya apa yang Javas persiapkan hingga menyuruh Regina menutup matanya.

"Buka matamu." ucap Javas.

Regina membuka mata, dan, "Pft!"

Javas yang awalnya pria berantakan dengan kain lilit kini berubah seperti seorang Grand Duke. Pakaian mahal berlumur permata, jubah belakang yang menjulang ke bawah menunjukkan betapa tingginya Javas. Rambut panjang yang biasanya terurai berantakan kini dikuncir rapi ke samping. Sangat anggun dan rapi

Javas tersenyum manis."Kamu begitu cantik, sayang."

"Aku?" Regina menunduk menatap gaunnya yang berubah juga. Menjadi lebih mewah dan elegan, bahkan ada aksesoris mahal pula yang entah sejak kapan ada di lengan dan lehernya.

"Istriku, mari kita pergi ke restoran yang sudah aku siapkan." cara bicara Javas juga berubah, menjadi amat berwibawa.

Oke? Jadi sekarang mereka berperan sebagai pasangan suami istri bangsawan kaya. Tidak buruk.

Regina mengangguk. "Ayo pergi."

Tiba-tiba kereta kuda mewah datang menghampiri mereka. Ditarik oleh tiga kuda gagah, lalu badan kereta yang amat berkilau mencuri perhatian sekitar. Juga, kereta tanpa sopir. Tanpa sopir!

"..??" Regina menunjuk bagian kosong kursi sopir dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Orang-orang melihat itu ada sopirnya, tenang saja." jelas Javas yang kini menyodorkan lengannya. "Biar kubantu kamu naik?"

"Oke ... terima kasih." Regina mengerti dan menggenggam lengan Javas untuk menaiki kereta yang lumayan tinggi tangganya.

Javas segera menyusul setelah Regina duduk manis di dalam. Sekarang, mereka benar-benar seperti pasangan bangsawan normal.

[END-TERBIT] REGINA: Don't Want to DieWhere stories live. Discover now