⁕ Penyihir Jompo dan Duke yang Dikandang ⁕

73 18 11
                                    


Pagi ini, aku dibangunkan oleh dencang jeruji kandang. Letaknya persis di sisi ranjang, membuat dahiku berkerut-kerut. Masih dengan mata terpejam, aku meraba-raba tongkat di nakas, lantas memukulkannya keras-keras ke jeruji sampai dinding pondok ikut bergetar.

Aku mendengar suara helaan napas.

"Tolong, lepaskan saya." Pemuda itu mendesah. Sepertinya dia sudah melewatkan fase putus asa, padahal tiga hari yang lalu dia teramat pongah. Kalau tidak salah dia bahkan mengagung-agungkan titel sebagai Duke dari utara.

Entahlah, anak muda. Bahkan raja saja tidak cukup tua untuk bisa kupanggil sebagai "Bung".

"Hei, nenek sihir?"

Aku refleks membuka mata. Aku menoleh kepadanya dengan melotot, garis-garis merah yang masih menjalar pekat di bola mataku membuatnya tersentak mundur.

"Apa?"

"Tidak, maksud saya ... kamu bahkan tidak memerhatikan saya." Pemuda itu menekuk wajah. Sesungguhnya tidak cocok juga memanggilnya anak muda—dalam taraf manusia. Usianya baru saja melewati tiga puluh tahun. Perawakannya gagah, benar-benar seperti mantan kesatria yang kemudian dilantik Raja menjadi Duke. Siapapun akan berpikir itu sebuah kehormatan, padahal tujuan Raja melakukan itu untuk mengasingkan kesatria malang ini ke utara yang terisolir. Aku bisa mengatakan hal tersebut karena mengenal Raja ... ah, memang lelaki yang licin. Dia tidak suka ada kesatria-kesatria tampan dan jangkung. Dia khawatir gundik-gundiknya bakal berselingkuh darinya.

Aku hanya merespons gerutuan si Duke dengan kembali tidur.

"Oh, yang benar saja. Nenek sihir!"

"Apa kau pikir aku benar-benar akan melepaskanmu?"

Tentu saja tidak. Mana ada pemangsa yang melepaskan mangsa? Apalagi dipanggil nenek sihir. Tanpa diberi jawaban, aku yakin pemuda itu sudah tahu. Aku mendengar helaan napas kesekian kali, lalu gesekan tubuhnya yang bersandar pada jeruji besi. Mungkin dia sedang merosot untuk duduk.

"Pondokmu agaknya tua, mungkin saya bisa bantu renovasi?"

"Aku punya sihir."

Dia menggerutu.

"Saya tahu kamu punya sihir, dan pasti yang terhebat juga di seantero hutan ini—"

"Tidak, ada yang lebih hebat daripadaku," selaku sarkas. Seketika terlebat sosok sainganku. Erine si penyihir Wisteria.

Membayangkannya sudah membuat jengkel setengah mati. Ha! Dia pikir dia bintang utama? Hanya karena dia adalah pewaris persekutuan Penyihir Putih yang memilih jalan tersendiri, maka dia merasa keren? Begitu?

Namun kejengkelan itu dengan cepat meletup menjadi sebuah kebencian pada diri sendiri. Mau bagaimanapun aku mengejeknya, Erine memang hebat. Dia mewarisi kekuatan Penyihir Putih yang mematikan. Dia bisa bertahan walau seorang diri.

Hampir saja aku melamun, kalau tidak dikejutkan dengan embusan suara yang menerpa tengkukku.

"Sungguh? Kamu yakin ada yang lebih hebat daripadamu?"

Aku melonjak kaget. Kali ini pemuda itu benar-benar berhasil membuatku bangkit dari kasur. Kupelototi sosoknya yang merapat pada jeruji besi. "Apa maumu? Makan?"

"Saya hanya ingin dilepaskan," pemuda itu merespons dengan lebih tenang. Mungkin dia sudah berhasil menguasai diri selama aku melamun tadi. "Tapi, daging burung dara sisa semalam juga boleh."

Kuseret langkah menuju ceruk dapur. Karena pondokku tidak besar-besar amat, hampir semuanya tersedia dalam satu ruangan besar ini. Dindingnya bersudut-sudut tidak wajar karena dulu dibangun oleh para kurcaci. Mereka tidak bisa mengukur ketinggian lebih daripada dua meter. Setidaknya, mereka membangun langit-langit dapur cukup tinggi sehingga aku tak perlu membungkuk.

Saat aku melipir ke ceruk dapur, aku mendengar Duke itu berkata lagi.

"Saya yakin kamu penyihir yang terhebat. Meski hanya dalam lingkup hutan ini."

"Apa kau bisa diam?" upayanya untuk merayuku tidak akan berhasil. Sumpah. Aku ingat penyihir pria terakhir yang lamarannya kutolak. Dia menyebutku sebagai nenek tua tidak berhati. Aku marah. Pertama, usiaku waktu itu masih seratus sebelas. Yang kedua, aku punya hati, tetapi bukan untuknya.

Duke itu terdiam sejenak, lantas berujar—yang hampir-hampir tak bisa kudengar karena dia ada di sudut lain, "Tapi saya tak pernah menemui penyihir sehebat kamu. Baiklah, mungkin saya tak menemui banyak penyihir daripadamu yang terbiasa hidup di antara penyihir lain. Tetapi semua penyihir pernah saya taklukkan, dan hanya kamu yang bisa memenjarakan saya di kandang ini."

Apa dia berusaha merayuku lagi? Aku tidak akan terpengaruh. Dan aku yakin rasa panas yang menjalari pipi ini akibat pancaran suhu api yang berkobar-kobar di tungku.

Tapi ... tunggu.

"Kau bilang, kau sudah menaklukkan banyak penyihir?"

"Ya? Benar."

"Siapa rekor terbesarmu?"

"Tiga wanita persekutuan Penyihir Putih." Dia terdengar bangga, dan itu memang patut bagi seorang kesatria manusia sekalipun. Para penyihir asuhan Madam Blanc memang sangat lincah, licik, dan mematikan. Kesatria yang tidak berhati-hati justru akan berakhir disetir menjadi budak mereka.

"Itulah mengapa saya bilang kamu adalah penyihir yang terhebat," katanya lagi. "Karena tiga penyihir wanita tadi tidak sebanding denganmu."

Andai ucapan pemuda itu mengandung serpihan sihir, kepalaku pasti sudah membesar bagai balon sekarang. Aku akan melayang-layang pondok hingga kepalaku terantuk langit-langit bersudut miring.

"Aku akan melepasmu," kataku, seiring dengan ide yang terlintas di benak. Setelah memasukkan sisa makan malam ke dalam periuk penghangat, aku menghampiri kandang si Duke sekali lagi dan menatapnya tajam.

"Dengan syarat?"

"Dengan syarat." Ujung bibirku melengkung tipis. "Kau akan ikut bersamaku untuk mengusir seorang penyihir bernama Erine dari hutan ini, dan membuatku menjadi penyihir terhebat di seantero hutan lagi. Mengerti?"

Duke itu tidak segera menjawab. Selama sesaat, aku curiga bahwa selama ini dia hanya membual untuk merayuku. Namun, menyadari bahwa pemuda itu sesungguhnya sekadar menata semangat yang hampir meletup-letup, dan menelan ludah yang menyiratkan rasa haus mengerikan, dia mengangguk mantap.

"Tentu saja." Ia balas tersenyum. "Apakah itu berarti akan ada pedang dan busur untuk saya?"

"Pedang dan busur untukmu," kataku, dan mendadak aku merasa bahwa rencana gila ini memang bisa berhasil. Aku akan mengusir Erine, penyihir keturunan Madam Blanc yang membuatku sangat minder!

Benar—matilah kau, Erine! Ini hutanku!


⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕

Prompt #1 : "Pagi ini, aku dibangunkan oleh...."

Note: Halo, selagi prompt dari NPC memungkinkan bagiku untuk menulis kisah-kisah yang sederhana, aku akan menulis secara sederhana pula ♡ Sebenarnya penggalan cerita ini bisa diteruskan menjadi novela--mungkin suatu saat. Aku membayangkan kerjasama mereka untuk melawan penyihir lain (kebetulan dia ada di work "Arcane" berjudul "Wisteria") dan dinamika mereka nanti~

REVERIEUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum