⁕ Pengamen Magis dan Uang Petaka ⁕

18 6 2
                                    


"Jangan ... jangan engkau buatku mengidung. Atau kau 'kan tertidur."

Pengemudi mobil itu terbengong-bengong mendengarkan nyanyian yang keluar dari mulut Les. Tak ada tanda-tanda ia akan mengambil recehan, tanda pengusiran yang jelas. Padahal Les hanya bersenandung kata-kata ngawur dengan nada yang didayu-dayu.

Kerutan di dahi pengemudi tua memudar. Selayaknya ia akan memaki, bahkan tak menurunkan kaca mobil, ketika ada pengamen yang mengedar. Tapi Lesmana berbeda. Pemuda itu juga tak berwajah rupawan, selain suara yang dijaga-jaga agar tak keluar. Namun kerutan seorang kakek pemarah saja luluh oleh nyanyiannya, apa lagi yang bisa Les perbuat?

Ia mesti membayar tagihan Lek Landa.

Kalau begini, Les harus menyanyi lagi. "Beri ... beri aku uangmu. Atau aku 'kan celaka ...."

Sial. Si tua masih bengong. Les jadi gugup. Tinggal dua detik menuju lampu kuning ... oh, satu detik—dan Les membelalakkan matanya kepada pengemudi tua itu. Uang, cepat! Mobil-mobil di belakang antrean mulai menyalakan klakson. Motor-motor telah melesat, kecuali Fortuner hitam mengilap yang tak kunjung beranjak.

Si tua tersentak oleh sahut-menyahut klakson. Kerutan kembali berlipat-lipat di dahi. Sejuk nyanyian Les telah berakhir. Ekspresinya seolah dikembalikan pada pahitnya dunia; pada teguran-teguran nyaring, pada panasnya Kota Surabaya yang menyengat kulit dan menguras kesabaran. Dengan satu pukulan keras, ia balas memberi klakson peringatan pada para pengemudi tak sabaran di belakangnya, ketika ia yang salah. Tak boleh ada yang menyalahkan orang tua, apalagi pengemudi barang mewah.

"Jancok!" serunya kepada pemotor yang sengaja mengetuk badan Fortunernya. "Cah enom saiki gak onok sing sabaran*," omel pengemudi itu sambil mengeluarkan satu lembar uang cepat-cepat. Selembar merah, merona di tangannya yang berkeriput maupun di tangan Les yang gosong saat menerima.

Seratus ribu!

Tak terkira kesenangan yang meletup-letup di dada Les. Fortuner itu lantas melesat, tetapi mobil-mobil yang di belakangnya nyaris meludahi Les karena menjadi penyebab mereka akan tertinggal. Sebelum mobil-mobil paling belakang tertahan oleh lampu merah selanjutnya, Les beranjak. Ia tidak serakah. Ia takkan mengamen lagi untuk tiga ratus, empat ratus, seribu seratus yang tidak pasti.

Toh ia juga benci menyanyi.


⁕⁕⁕


Kesenangan Les tidak bertahan lama. Segera setelah mengamankan diri di trotoar, ia menyadari bahaya yang lebih besar. Ini gara-gara mbak-mbak yang bersembunyi di balik bilik asongan yang sedang mengamatinya lekat-lekat. Mbak itu tidak mungkin tahu Les menerima seratus ribu, pasti hanya penasaran apa yang pengamen ini nyanyikan pada pengemudi Fortuner hitam sampai-sampai menghambat laju lalu lintas.

Tatapan penuh penasaran si mbak mengingatkan Les pada Lek Landa. Target hariannya dua puluh ribu, kalau tidak begitu menunggak untuk esok dan esoknya. Masalahnya, itu hanya berlaku jika Les dapat uang sekitar tiga puluh ribu saja. Lebih dari itu, permintaan Lek Landa juga meningkat.

"Arek modelan kon iku mangan e sitik wes cukup. Aku sing kangelan mangani anakku!*" Kira-kira begitu pembelaan Lek Landa setiap kali merampas seribu rupiah tambahan kalau Les mendapat seribu lebih banyak daripada biasanya. Kalau sudah begitu, Les hanya bisa mengutuk dalam hati. Kenapa punya anak kalau tak bisa menafkahi? Nafsu tak bisa ditahan, tetapi mencari makan saja haru memalak. Bahkan binatang lebih bertanggung jawab daripadanya.

Namun tentu saja Les tak bisa bilang begitu. Hanya Lek Landa yang tak terpengaruh suara merdunya, sebab ia selalu tergagap saat menghadapi preman itu. Satu-satunya cara adalah dengan menyembunyikan seratus ribu ini, atau menukarnya dengan pecahan.

Mata Les seketika tertuju pada toko kue yang selalu ramai di pojok persimpangan. Aroma mentega hangat sudah tercium dari jarak beberapa meter, dan semakin kuat seiring Les mendekat. Sudah lama ia ingin makan roti, sesekali, selain nasi keras dan lauk nyaris basi yang biasa disumbangkan pemilik warteg.

Maka ke sanalah Les melangkah, tak sadar bahwa Lek Landa sudah berada di toko roti itu duluan, bersiap menagih pajak tambahan.


⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕

Prompt #22 : Buatlah cerita tentang seorang pengamen yang sedang menyanyikan lagu karangannya sendiri, minimal memasukkan 1 BAIT LAGU yang dinyanyikan pada dialog pengamen tersebut (Lagu yang dinyanyikan bisa dari puisi atau lagu ciptaan penulis).

Note :

*Cah enom saiki gak onok sing sabaran: Anak muda (zaman) sekarang tidak ada yang penyabar.

** Arek modelan kon iku mangan e sitik wes cukup. Aku sing kangelan mangani anakku! : Anak semacam kamu itu makannya sedikit sudah cukup. Aku yang kesulitan (untuk) memberi makan anakku!

Aku mulai kembali senang menulis, tetapi ternyata tidak bisa menulis banyak-banyak x)

Aku terpikir menulis novel lokal, entah genre apa, yang melibatkan sejumlah tokoh. Nama-namanya sudah tersebar; Yugas Gala Asoka (Singapura & Solo), Kastara (Wartel dan x) walau dinamika mereka di cerpen-cerpen itu tidak ada sangkut pautnya dengan novel yang akan datang ini. Yang jelas, Les (Lesmana) akan menjadi bagian dari mereka—seorang cowok miskin dengan suara magis, dan topeng untuk menyembunyikan wajahnya karena insekyur.

REVERIEOnde as histórias ganham vida. Descobre agora