⁕ Sebuah Kencan dan Sekelebat Kejahatan ⁕

25 6 8
                                    


"Lihat situ, Yasmine." Alan menunjuk ke arah sungai yang mengitari taman bermain Plumbite Pier. Mereka sedang duduk berhadapan, lutut beradu lutut, di dalam bilik bianglala yang perlahan-lahan merambat ke atas. "Kalau dari atas, sungainya seperti ular perak, bukan? Aku suka melihat itu kalau sedang naik bianglala."

Yasmine menempel lebih dekat ke kaca, pandangannya menembus pantulan wajahnya sendiri pada kaca yang berembun. Memang benar. Kelok sungai yang bermuara pada LaSuli Lake itu tamapks eperti ular dengan sisik-sisik keperakan yang bersinar. Bulan sedang bundar-bundarnya dan tak ada awan yang menghalangi terang pancaran.

Momen ini semestinya menjadi momen yang romantis. Apalagi Alan berulang kali mencuri pandang ke arah Yasmine. Perlahan-lahan jarinya menyentuh jari gadis itu. Jantungnya jumpalitan. Kalau berhasil, ia mungkin bisa—

"Apa itu?"

Yasmine tahu-tahu menarik tangan dan menuding ke arah sungai. Meski agak jengkel, Alan mau tak mau ikut menoleh ke arah yang ditunjuk.

Di bawah sana, dua orang tampak sedang terlibat baku hantam.

Alan menahan napas. "Mereka bertengkar."

"Di tepi sungai? Hebat." Yasmine bergumam. "Mereka sepertinya baru saja—oh, oh!"

Tepat seiring dengan Yasmine memotong ucapannya sendiri, salah seorang di pergumulan itu tercebur ke sungai. Karena ini sudah malam, mereka tak bisa melihat persis apa yang terjadi. Namun satu yang pasti:

Orang itu pasti didorong, sebab orang satunya langsung lari secepat kilat.


⁕⁕⁕


Kencan beberapa malam lalu itu setidaknya berjalan dengan baik sampai-sampai Alan sempat melupakan apa yang dilihatnya bersama Yasmine dari bianglala. Ia akhirnya kesampaian mencium si pujaan hati dengan manis, setelah berbulan-bulan penuh cemoohan dan persaingan yang panas. Namun, sayangnya tidur yang direncanakan telat pada akhir pekan ini, harus diakhiri oleh jeblakan pintu kamar.

"Alan, Alan! Bangun, boy." Ayah mengguncang-guncang bahunya. Alan mengerang malas. "Alan, bangun. Ada detektif yang mencarimu."

Pemuda jangkung itu langsung terduduk. "Apa?" berbagai dugaan berkelebat di benaknya. Kenapa ada detektif di sini? Apakah karena transaksi mariyuana antar teman satu tim basketnya mulai terendus? Alan berharap tidak, walau itu adalah kemungkinan paling besar. Walau ia tak pernah mengisap mariyuana secara langsung, tetapi kawan-kawannya mulai melakukan itu. Ditambah lagi ia tinggal di kota kecil Copperdale. Segala hal dengan cepat terdampak dan menyebar.

"Kau semalam dari Plumbite Pier, kan?" tanya Ayah. Ada seutas kecemasan di wajahnya. "Detektif bilang mereka butuh menanyakan beberapa hal pada pengunjung Plumbite Pier semalam."

Sembari berganti pakaian dengan malas-malasan, Alan memutar otak. Oke, bukan soal mariyuana. Lantas apa? Adakah sesuatu yang terjadi di Plumbite Pier semalam saat ia dan Yasmine sedang kencan?

"Halo, Bung." Detektif yang berkunjung adalah detektif yang baru ditempatkan di sini, kira-kira beberapa bulan lalu. Alan tahu karena Ayah pernah bilang melihatnya sekali saat minum-minum di kedai.

"Ya, Sir?"

Detektif itu lantas menjelaskan sekilas apa yang sedang dicarinya, dan Alan seketika ingat.

"Apa kau sedang naik bianglala waktu itu?"

"Ya." Alan mengernyit. Ini sesuatu yang sangat spesifik. "Ada apa?"

"Oke, jadi begini." Detektif itu menghela napas. "Aku sedang mencari Mr. Thunks karena dikabarkan menghilang selama beberapa hari." Ia membolak-balik halaman catatan. "Kabarnya ia terakhir terlihat di antara Plumbite Pier dan LaSuli Lake sekitar Selasa malam lalu, kira-kira antara pukul delapan sampai sembilan malam. Yeah, begitulah. Jadi, menurut catatan kunjungan anak di bawah umur dari petugas loket Plumbite Pier, kau dan ... Yasmine Weller berkunjung dari pukul tujuh dua puluh sampai sembilan empat lima."

"Mhm."

"Kau melihat Mr. Thunks? Kau kenal dia, kan?"

"Hanya tahu saja," kata Alan. Copperdale adalah kota yang kecil. Mustahil tidak ada yang mengetahui satu sama lan. Setertutup apapun kau, orang-orang tetap akan mengenalimu, walau mungkin sekadar dicap sebagai Si Antisosial.

"Tapi aku tidak merasa melihatnya."

"Kau yakin?" detektif itu mencatat. "Atau mungkin ada tanda-tanda pria mencurigakan di sekitar situ?"

Alan berpikir selama sejenak. Ia lantas teringat dengan apa yang dilihatnya dari bilik bianglala—sesuatu yang sempat merusak momen romantisnya dengan Yasmine. Namun mengingat kerumitan yang disaksikannya, Alan tidak yakin.

"Kau mengingat sesuatu?" detektif tersebut dengan tajam mengendus isi pikiran Alan.

"Entahlah, Sir ... waktu itu aku dan cewekku"—ya, dia bangga saat mengatakan ini—"sedang naik bianglala saat kami melihat ke arah sungai. Di situ kami melihat ada dua pria berkelahi, kemudian salah satu tercebur ke sungai."

Detektif itu membeliak. Ia dengan cepat mencatat.

Alan terkejut saat Ayah tahu-tahu menyahut. Ia tidak sadar kalau Ayah sedari tadi mendengarkan dari balik punggungnya. "Oh tidak, Anda tidak berpikir bahwa itu Mr. Thunks, kan? Walau aku tidak akan terkejut juga."

"Apa maksudnya?"

"Oh Anda tahu." Ayah mengangkat bahu. "Mr. Thunks adalah seorang rentenir. Dia rajin menagih hutang para lelaki bujang di sekitar sini—sebab mereka rata-rata adalah karyawan perusahaan tambang, dan mereka selalu meminjam ke bosnya Mr. Thunks."

Detektif itu mengangguk-angguk. Dia menulis dengan kecepatan yang di luar nalar sampai Alan yakin tulisannya pasti tak terbaca. Melihat antusiasme detektif itu, Alan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dugaannya terbukti.

"Maaf, mungkin sekarang memang masih agak terlalu pagi, tapi—apa Anda berdua keberatan untuk obrolan lebih banyak?"


⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕


Prompt : sungai, bianglala, dan rentenir (tidak lebih dari 1000 kata)

Notes :

Aku sedang capek jadi aku nggak bisa mikir apa-apa, jadi begini saja

Semua setting di atas berasal dari game The Sims 4, dengan latar dunia Copperdale.

REVERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang