⁕ Caramel Macchiato dan Matcha Tea Cake ⁕

32 8 23
                                    


Semua itu bermula dari ketidaksengajaan, dan ketika kita memilih untuk sengaja menyelam lebih jauh, semestinya kita harus ingat bahwa ada risiko kegagalan.

Namun, oh, kita sedang membicarakan cinta.

Sayang sekali Mina tidak ingat dengan peringatan apapun, termasuk jejak trauma dari berbagai pengalaman lalu-lalu. Itu karena serbuan oksitosin yang membuatnya kewalahan. Ia jarang disapa oleh hormon satu ini—wajar dia agak depresi soal percintaan—sehingga saat pintu hatinya diketuk, Mina berbunga-bunga betul.

Setiap kali ada yang mengingatkan, pembelaannya mantap: ayolah, aku ingin jatuh cinta dengan normal.

Dengan begitu kawan-kawannya menjadi bungkam. Mereka pikir Mina ada benarnya. Gadis itu tak pernah berhasil mengencani siapa-siapa. Kalaupun ada kencan yang berhasil, itu karena lelakinya brengsek dan pandai menyenangkan hati, sebelum beranjak untuk gadis yang lebih menarik daripada Mina.

Yah, semoga Mina berhasil kali ini. Toh yang memulai duluan adalah si pemuda.

Si pemuda yang dimaksud, Farrell, adalah barista di kafe langganan Mina. Gadis itu sedang berjalan ke sana sekarang. Kafe yang dekat dari rumah, high-end, dan membuatnya betah duduk selama enam hingga tujuh jam. Segalanya sempurna bagi Mina, dan menjadi berkali-kali lipat lebih hebat saat barista yang diam-diam dikagumi kini mengenalinya.

Kejadiannya bermula dari minggu lalu, saat Rachel tidak bisa menemani Mina ke kafe karena urusan lain. Tak masalah, Mina juga kadang-kadang ke kafe sendirian. Kemudian, pada saat itulah, Farrell menyapa Mina dari balik kasir. Tatapan matanya berbeda—begitu menurut Mina—kemudian disusul oleh kejutan menyenangkan.

"Pesanan atas nama siapa?" itu adalah pertanyaan wajib, tetapi Farrell tidak menunggu. Sebelum Mina menjawab, Farrell mengacungkan tangannya, tersenyum culas, dan berkata, "Mina, kan?"

Mina rasanya ingin melambung saat itu juga. Farrell ingat namanya, padahal ia melayani ratusan pelanggan tiap hari! Ini seperti keajaiban. Otaknya pun berputar cepat saat mengendus kesempatan untuk mengobrol ini. Dia bisa berbasa-basi dengan "Oh, kau ingat? Pasti karena aku sering datang kemari, ya?" tetapi tampaknya Mina terlalu lama menimbang-nimbang, sebab sekarang Farrell sudah mengganti topik.

"Ada lagi yang mau dipesan?"

Hilang sudah kesempatannya. Kalau dia mencoba mengajak mengobrol dengan kata-kata tadi, maka momennya tidak cocok. Dan Mina akan terlihat terlalu salah tingkah. Ia tidak mau begitu.

"Oh, um ... caramel macchiato dan satu matcha tea cake." Pada akhirnya Mina gagal mengajak mengobrol, tetapi ia sangat senang dengan kenyataan bahwa Farrell mengingatnya.

Beberapa jam kemudian ia menceritakan pengalaman itu kepada kawannya.

"Sungguh, Mina? Aku yakin dia mengingatmu karena kau datang ke sana setiap minggu."

Mina ingin sekali mencubit bibir kawannya itu karena telah memadamkan kesenangannya. Tapi, ha! Ia sedang berbunga-bunga, dan ia tak pernah merasa seperti ini. Ucapan pemadam kesenangan itu takkan menggoyahkannya.

"Aku ingin jatuh cinta dengan normal. Apa tidak boleh?" Mina membalas dengan jengkel. Hatinya mulai berdenyut-denyut samar, reaksi yang biasa didapat saat menyaksikan orang lain sukses jatuh cinta sementara dirinya tidak. "Selama ini aku selalu pergi bersama Rachel, dan semua orang memerhatikannya. Baru ini ada orang asing yang memerhatikanku. Apa tidak boleh?"

Saat Mina mengulangi ucapan terakhir itu, matanya sudah berkaca-kaca tanpa aba-aba. Ada rasa sesak yang menyusul saat ia menyadari sesuatu juga: ia baru diperhatikan saat tidak bersama Rachel, yang notabene selalu mencuri perhatian orang-orang dengan kecantikan dan keceriaannya. Kau mungkin berpikir ini klise, tetapi itu benar adanya.

REVERIEWhere stories live. Discover now