⁕ Singapura dan Solo ⁕

23 7 2
                                    


Bukankah nama adalah doa? Sayangnya Ray Sadana bertanya-tanya mengapa lorong 30 masih saja gelap gulita seperti lorong-lorong usia sebelumnya. Bahkan ketika kandelir-kandelir kristal bergantungan di atas kepala, menerangi ballroom tempat resepsi sahabatnya diadakan, Ray masih merasa sekelilingnya gelap.

Ia tadi sempat bertemu Mr. J, paman Yugas sang sahabat yang berbahagia, sekaligus dosen pembimbing Ray saat kuliah di Singapura dahulu. Mr. J bertanya apakah pria itu sudah menjadi kritikus seni seperti cita-citanya sebelum stres mengerjakan tesis. Mendadak alam pikir Ray mati lampu. Ia tak bisa memberi jawaban pengganti "belum" yang lebih pantas diucapkan oleh pria berusia 30 sepertinya.

Demi Tuhan, sahabatnya Yugas yang seorang manajer produk saja bisa memasarkan lukisannya yang—menurut Ray—biasa-biasa saja. Padahal hanya Yugas yang tidak kuliah di SUTD. Pria itu mendapat gelar MBA dari National University of Singapore, dan—

Ya ampun, berhenti membicarakan Yugas. Baiklah, dia memang bintang hari ini tapi biarlah dia tertahan di panggung bersama sang istri.

Ray beranjak. Ia berniat mencari sahabatnya yang lain. Dylan. Mereka bertiga memang menjadi sahabat sejak bertemu di suatu perkumpulan pelajar Indonesia yang menetap di Singapura, dua belas tahun lalu, dan masih bersama-sama berambisi bermain cewek. Karena Yugas sedang sibuk, maka Ray mencari Dylan, yang semestinya takkan jauh-jauh dari meja-meja makan bundar, sebab ....

Ray memelankan langkah saat melihat seorang pria berkacamata baru saja mengajak seorang balita menuju photobooth, menjauh dari seorang wanita yang tengah memangku bayi. Ray terbengong-bengong. Inilah alasan lain mengapa hidupnya masih gelap gulita. Dylan dulunya adalah pemuda paling brengsek di antara mereka bertiga, datang dan pergi dari kehidupan gadis-gadis yang tidak bermaksud ia kencani, sebelum dibuat bertekuk lutut oleh wanita yang kini menjadi istrinya.

Bahkan Dylan saja menikah lebih dahulu, kenapa Ray tidak bisa?

Di mana bagian dari dirinya yang salah?

Ray berputar balik. Terurung niatnya untuk merecoki Dylan. Lebih baik ia urusi saja perutnya yang mulai meronta-ronta. Sejak tadi Ray belum sempat makan karena mendapat mandat dari Yugas untuk memastikan kawan-kawan perkumpulan mereka semua hadir dan bisa berfoto bersama. Sekarang tugasnya tuntas, Ray seperti pria hilang di lautan tiga ribu tamu.

Lebih baik kamu mulai dari yang disukai. Sembari menghampiri stan makanan terdekat, ucapan Mr. J terngiang-ngiang di benaknya. Padahal Ray sudah berusaha mencari-cari jawaban yang keren, tetapi insting sang dosen tampaknya lebih tajam.

Dunia tempatnya stres, Ray. Better find something that you enjoy, dan mulai dari sana.

Kalau dibilang seperti itu, yang Ray sukai hanya makan dan tidur sekarang. Dan berjalan-jalan. Namun jadi pemandu wisata resmi juga malas. Sejauh ini ia hanya menjadi pemandu wisata bagi keluarga besar yang mau berkunjung ke Singapura, karena negeri mungil itu seperti halaman rumahnya sendiri. Mulai dari kari laksa hingga kwetiau goreng, tau huay hingga wonton berisi daun bawang padat yang beraroma bawang putih. Ia pun tahu mana restoran India yang menjual masala chai terbaik.

Mm ... memikirkannya saja membuat Ray rindu untuk kembali ke negara hangat tersebut. Menaiki MRT pukul sepuluhan, menuju Boat Quay untuk bengong memandang sungai sambil menggigit panekuk kacang merah Mr Bean favoritnya yang masih hangat. Kantong kertas bertulis 'Life's Simple Pleasures' membuatnya merasa tertampar kecil-kecilan acap melihatnya. Baiklah, orang tuanya kaya raya, tetapi ia merasa seperti putra yang disia-siakan karena tak pernah dituntut ini itu.

Mungkin itulah alasan mengapa Ray tak pernah benar-benar betah di Solo, kota kelahirannya.

" ... Mas? Mas?"

Ray tersentak saat seseorang menekan lengannya. Ia berputar, menghadap seorang gadis dalam balutan kebaya modern yang longgar di samping. Wajahnya tidak asing, tetapi entah di mana mereka pernah bertemu.

Namun yang membuatnya lebih terganggu adalah caranya dipanggil. Mas.

"Ya?" balas Ray, agak-agak khawatir bahwa gadis ini akan membawa pengingat kabar kegelapan lagi.

Namun sang gadis mengedikkan dagu ke arah stan di hadapan mereka. Ray baru sadar bahwa petugas katering telah menyodorkan sepiring selat solo sedari tadi dengan jengkel. Pria itu terkesiap. Ia buru-buru meminta maaf dan mengambil sepiring selat solo, yang sebenarnya sama sekali tidak ia pikirkan. Ia hanya menghampiri stan makanan terdekat dan menunggu porsinya diberikan.

Sekarang, dengan seporsi mini selat solo di tangan, ia merasa darahnya berdesir. Tidak, tidak. Ini bukan berarti ia sedang memikirkan Solo, tidak. Ia tidak rindu rumahnya sama sekali. Apalagi sepasang orang tua yang hanya berpikir bagaimana caranya agar kakak sulungnya mau mengambil alih usaha dan bagaimana agar adik gadisnya berhenti kabur ke Sydney tiap bulan untuk menemui pacar barunya. Ia juga tidak merindukan rumahnya yang menjulang tinggi. Ia lebih suka apartemennya di East Coast.

Ray duduk dengan lesu di salah satu meja bundar dan mulai menyantap selat solo. Enak, sih. Yah, kalau ada yang membuatnya ingin kembali ke Solo, biasanya hanya makanannya saja. Lagi-lagi soal makanan. Ray jadi curiga apakah sebaiknya ia menjadi koki saja, tetapi ia selalu terbayang-bayang suasana dapur seperti Hell's Kitchen. Masterchef lewat.

Ray baru saja menyuap sepotong wortel ketika gadis tadi tahu-tahu duduk di sampingnya.

"Mas Ray? Mas Ray Sadana bukan, ya?"

Pria itu menoleh menatap gadis itu dengan dahi mengernyit samar. Siapa ini? Ia tidak merasa mengenalnya, walau tampaknya struktur wajah itu agak-agak familiar ....

Merasa bahwa Ray takkan menjawabnya, gadis itu menghela napas kecil dan memasang senyum. "Benar Mas Ray, kan?" tekannya. "Mungkin kamu lupa, tapi saya tetangga kamu, putrinya Pak Affandi." Senyum gadis itu melebar, seolah-olah yakin bahwa tak ada yang tak mengenal ayahnya.

Dan gadis itu benar. Memori yang tak pernah Ray ingat miliki kini kembali menerjang otaknya, membabi buta menjejali dengan kenangan-kenangan masa kecil yang membuat jantungnya serasa melesak ke perut.

Oh tidak.

Dan, begitu saja, saus asam gurih di mulutnya terasa pahit.


Prompt : tema makanan/minuman favorit dengan tokoh genderswap dari gender penulis.

Notes :

Lagi-lagi ini adalah prompt untuk tulisan di masa depan. Yugas Gala Asoka (yang menikah) adalah karakter yang ingin sekali kutulis, tetapi belum kesampaian. Dylan Zheng (playboy tobat yang punya anak) sendiri sudah memiliki awalan di karyaku "Walk by the Bay" di akunku yang lain, emnayou, walau tidak tersentuh lagi hahaha. Sementara Ray Sadana adalah karakter yang baru terpikirkan saat ini, tetapi memang sudah kurencanakan menjadi bagian dari trio tersebut.

Jadi intinya, makanan favoritku apa? Ada dua, panekuk keju Mr Bean (tapi aku menulis varian kacang merah, itu juga enak dan lebih khas) dan selat solo. Makanan favoritku sebenarnya banyak haha tapi aku akan memilih masing-masing satu untuk varian manis dan asin, dan yang paling ingin kumakan di tengah malam ini.

REVERIEWhere stories live. Discover now