Chapter 3

10 3 20
                                    

V-Vira?

.

.

.

.

.

Ryanell's POV

Aku berjalan menjauh meninggalkan Vira yang terdiam dengan mata berkaca-kaca. Aku mempercepat langkahku saat aku menangkap sebuah penampakan yang sangat kuinginkan. Sebuah taxi yang terlihat sedang mencari penumpang. Aku mengulurkan tangan agar taxi itu berhenti. Tetapi, taxi itu malah melewatiku begitu saja.

'Apa supir itu tidak melihatku?' batinku bertanya-tanya saat melihat taxi itu melaju dengan kecepatan tinggi ke arah ujung jalan. Aku sedikit kecewa, tapi apa boleh buat. Beberapa menit kemudian, akhirnya aku terpaksa berjalan karena aku tidak menemukan satupun kendaraan angkutan umum yang melewatiku.

Tit tit...

Bunyi klason disertai deruman dari sebuah sepeda motor yang berhenti di dekatku. Aku meliriknya dan mendapati sosok yang terlihat familiar bagiku saat ia membuka helmnya dan masih duduk di sepeda motornya.

"Kok pulang sendirian? Nggak dijemput?" tanyanya seraya memperhatikan sekeliling.

Aku menatapnya dan hanya menjawab singkat, "Ya, aku pulang sendirian." Aku berbohong soal itu karena aku sedang tidak ingin pulang bersama saudari tiriku itu. Mungkin aku akan dimarahi habis-habisan oleh ibu karena membuat Vira menangis dan aku meninggalkannya di halte tanpa menunggunya.

"Naik," titahnya menyuruhku naik.

"Gausah, aku pulang naik taksi aja." Aku mengeleng dan menolak ajakannya. Aku selalu berusah untuk tidak merepotkan orang lain apalagi sosok yang ada di depanku ini. Aku baru mengenalnya hari ini, tapi kami sudah cukup akrab. Namun tetap saja aku tidak ingin merepotkannya.

"Taksi jarang lewat sini, biar aku yang mengantarmu pulang." Ia tampak memaksa dan mendesak. "Daripada ntar malah diculik, yok," sambungnya dan mau tak mau aku menuruti permintaannya.

"Baiklah," sahutku dan menaiki bagian belakang sepeda motornya. 

Jika dilihat-lihat, sepeda motornya tergolong kendaraan yang mewah. Harganya mungkin bisa mencapai jutaan rupiah atau mungkin miliyaran rupiah. Aku tidak bisa membayangkannya dan sekarang aku malah menaikinya bahkan dibonceng oleh si pemilik sepeda motor mahal ini.

Aku meneguk ludahku dan sedikit cemas. "Apa benar kamu tidak masalah mengantarku pulang, Rey?" tanyaku pada Rey seraya memegangi leherku yang sudah dibasahi oleh keringat dingin. Aku sudah duduk tepat di belakangnya, jujur aku sedikit takut menaiki sepeda motor. Aku tidak pernah menaikinya bahkan menyentuhnya karena selama ini aku selalu mengemudikan mobil ayah tiriku atau menumpangi bus kota saat aku masih di Surabaya.

"Ya, lagipun ngapain kamu berjalan jauh cuma buat nyari taksi yang nggak bakal muncul," ucapnya seraya bersiap-siap melajukan sepeda motor. "Rumah kamu di mana?"

"Jalan Tanah Tinggi 1 gang 5."

"Jalan Tanah Tingi 1 gang 5?" Ia tampak memastikan alamat yang aku ucapkan itu. "Huh, ternyata rumah kita searah. Pegangan," titahya lalu melesatkan sepeda motornya tanpa aba-aba.

Aku dengan spontan langsung memeluknya dari belakang karena takut terhempas, "pelan-pelan bawanya!!" Aku sedikit berteriak dan memeluknya semakin erat.

Entah ia tidak mendengar peringatanku atau malah mengabaikannya dan menganggapnya angin lalu, sepeda motornya melaju sangat kencang yang membuatku sangat ketakutan. 'Kalo mau mati, jangan ngajak-ngajak dong' batinku kesal ditambah kelajuannya malah semakin bertambah.

EvanellWhere stories live. Discover now