i. TANGIS AWAN

1K 89 15
                                    

Musim hujan.

Sungguh tidak menyenangkan sama sekali, bukan? Dimana segala jenis aktivitas manusia semestinya akan terhambat akibat rinai hujan yang seolah tak mengenal waktu turun dan membasahi habis pipi bumi.

"Hujan lagi," gumamnya seraya melemaskan bahu usai menghela napas berat.

Sudah berapa lama, ya? Nyaris setengah jam mungkin dia menunggu di bawah naungan atap halte. Sendirian, tanpa adanya entitas lain yang menemani. Birai merahnya tampak sedikit bergetar. Menahan rasa dingin yang menusuk kulitnya yang sayangnya hari ini hanya dilindungi oleh kemeja putih tipis.

"Dingin banget," keluhnya sembari mengusap-usap bahunya sendiri. Kemudian, menggesek kedua telapak tangan dan meniup-niupnya guna mendatangkan kehangatan di tengah suhu yang terasa semakin menurun. "Kapan redanya, sih?"

Untuk yang kesekian kali hembusan napas berat itu ia keluarkan hanya untuk mengusir rasa bosan. Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Pura-pura sibuk seolah ada banyak pesan masuk dengan memainkan ponselnya yang sepi akan notifikasi, begitu?

Sebenarnya memang bukan sebuah ide yang buruk, hanya saja melihat pancar petir yang menyala seakan memberikan sebuah adrenalin yang tinggi. Saking takutnya, ia bahkan tak berani untuk berdiam diri di samping tiang halte. Duduk saja enggan sekali. Sehingga mau tak mau dia harus berdiri sepanjang waktu sambil terus menanti kapan tangis awan agaknya akan berhenti.

Netra sipitnya bergulir. Menatap arloji yang melingkari tangan kirinya dengan sorotnya yang miris. Sudah pukul 8 rupanya. Bisa dipastikan pagar sekolah telah tertutup rapat dan satu-satunya akses yang memungkinnya untuk bisa masuk hanyalah memanjat pagar yang ada di belakang kelas. Itupun tidak menutup kemungkinan ia akan lolos dari guru konseling yang selalu berjaga.

Bunda
| inyu, kalau pulang mampir ke rumah bunda, okay?

Ayah
| pulangnya ke rumah ayah aja, ya.

Air mukanya mendadak datar. Memang mungkin sudah seharusnya ia tidak penasaran akan getar ponselnya yang refleks dia buka lantaran merasa jika pesan yang masuk mungkin berasal dari pamannya.

"Hehe," kekehnya dengan nada getir. Andai tidak ingat perihal harganya yang mahal, besar kemungkinan dia tanpa berpikir akan langsung melempar ponselnya ke arah truk yang melintas laju di depannya. Kepalanya tertunduk lesu. Ada kesedihan yang tersirat disorot sok bahagia miliknya. "Drama banget hidup gue."

Padahal dia terbilang sudah cukup umur hingga pengadilan membebaskan dia untuk ikut siapa saja. Namun, mendapati fakta jika dia sering diperebutkan seperti ini ternyata sangat memuakkan. Rasanya jauh lebih baik baginya untuk mengabaikan mereka lagi dan lagi. Seperti yang kerap dilakukannya akhir-akhir ini.

Selanjutnya, matanya dibuat mengerjab kala sebuah uluran tangan menunjukkan sekotak susu berperisa melon di atas telapak tangan besarnya. Pupilnya bergeser, penasaran akan siapa sosok yang tiba-tiba saja muncul dan memberikannya susu begitu saja.

Tanpa sadar, ia tatap pemuda di depannya secara intens. Seolah menilik akan figur yang memakai bordir seragam yang sama serta kedua telinga yang disumbat oleh earphone tersebut.

Bibirnya lantas terbuka. "Buat ... gue?" tanyanya ragu sampai tak sadar menunjuk dirinya sendiri menggunakan pias bingung.

Si pemuda mengangguk mengiyakan. Tangannya bergoyang, bermaksud agar apa yang tengah diberikannya kini langsung diambil oleh sosok yang sedang memperhatikannya dengan raut cengo.

"Lo nggak mau?" Ia bertanya lagi sembari memperhatikan perpindahan susu tersebut ke atas telapak tangannya tatkala pemuda itu dengan lancang meraih tangannya.

"Nggak suka."

Mulutnya membulat paham. Kemudian, beralih tertawa ringan melihat pemuda itu berjalan menuju kursi dan perlahan mendudukinya. "Kalau gitu, kenapa dibeli?"

Ponselnya dikeluarkan dari saku celana. Sambungan kabel yang rupanya tidak terpasang dengan lubangnya tersebutpun kembali dipasangkan. "Cerewet," sahutnya acuh tak acuh.

Ia terbahak akan hinaan yang ditujukkan kepadanya tersebut. Kini, ia justru dengan gampangnya ikut duduk di samping pemuda yang tengah sibuk mencari-cari lagu di salah satu aplikasi pemutar musik.

Matanya menerawang ke atas. Lagi-lagi memperhitungkan jika rintik air rupanya semakin cepat berjatuhan sehingga membuat suara yang terbilang cukup berisik. Pantas saja pemuda ini kebasahan, rupanya hujan kian deras.

Lamunannya buyar kala pemuda itu memberikan sebelah earphone untuk dipakai disalah satu telinganya. Senyum manis terbit diwajah si pemuda kucing sembari menerima apapun yang diberikan oleh pemuda itu kepadanya.

Never thought that I'd find
That the one in my life would be so near
And now you're here

Alunan lagu ballad mengalun merdu menyapa rungu. Tanpa sadar hal itu menjadi alasan akan mengapa dia putuskan memejamkan mata. Menikmati sendunya lagu tersebut di tengah-tengah nuansa hujan yang didominasi oleh warna kelabu.

Si pemuda beralih sedikit menurunkan tubuhnya. Memperhatikan lamat-lamat figur pemuda yang tampak terhanyut usai mendengar lagu favoritnya.

"Gue Dohoon," ucapnya pelan.

Lawan bicaranya manggut-manggut. Senyumnya tak lekang, meskipun lagu yang terputar telah selesai dan digantikan oleh urutan lagu selanjutnya dari penyanyi yang sama.

"Shinyu."

I got you, you got me
When it's us, babe, you make me feel complete
You're all I need

[Keshi - Understand]

.
[Tbc]
.

Shinyu [17]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Shinyu [17]

(his real name is shin junghwan, but i prefer to use his stage name, shinyu.)

Kim Dohoon [16]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kim Dohoon [16]

••

ey-yo! met dateng di work baruku, hehe. LAGI OLENG, GUYS. SUMPAH! better aku layarin di sini aja, wrwrwr. SEMOGA DAPET BANYAK TEMEN DI SINI BUAT NGEHYPE NIH KAPEL IJO HUHUHU

Cloudburst +DoshinWhere stories live. Discover now