Episode 05

57 43 18
                                    

JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK DAN SARANNYA🔥
Typo, koreksi📌

●○●○●○


Seorang cowok berhodie hitam baru tiba di halaman rumahnya. Dengan cekatan dia mencopot helm motornya dan masuk ke dalam rumah. Baru saja akan menutup pintu rumah, dia sudah dikejutkan dengan suara indah milik mamahnya dari arah tangga.

"Katanya gak suka, kalau motornya basah kena air hujan," cibir sang mamah sambil menuruni tangga. Spontan dia menoleh kearah mamahnya.

"Aku terpaksa Mah," ujarnya dengan menyengir kuda.

"Mamah kan udah bilang beberapa kali. Jangan menerobos hujan, lihat sekarang pakaian kamu jadi basah kuyup, nanti kalau kamu sakit gimana, kamu kan kalau kena air hujan langsung demam." Omelan mamahnya mulai meluncur menyambut kedatangan pangeran di rumah ini.

"Maaf Mah, aku udah kangen sama Mamah, jadi gak sabar deh kalau harus nunggu hujan reda." Belanya dengan merayu sang Mamah.
Mamah memutar bola matanya malas mendengar ucapan manis anaknya yang sudah familiar di telinganya.

"Ya sudah, sekarang cepetan mandi dan ganti baju, setelah itu langsung makan!" Perintah mutlak sang penguasa rumah.

"Siap mamah cantik."

Lalu dia segera berlari pergi menuju kamar. Sedangkan Martha yang merupakan mamah dari cowok itu hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap kekanak-kanakan si bontot.

Sekitar jam delapan malam, terlihat seorang remaja dengan rambut acak-acakan keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju tempat tidurnya. Dia merebahkan badannya yang terasa sangat pegal tidak peduli dengan rambutnya yang masih basah.

Matanya memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh mengalir seperti pipa rucika. Tiba-tiba dia teringat dengan peristiwa tadi sore yang membuat hatinya berdenyut.

Setelah kejadian di taman tadi dia tidak benar-benar pergi meninggalkan halaman sekolah.

Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, gadis yang selama ini membuatnya bimbang menangis dibawah derasnya hujan.
Dia di sana. Berdiri dibalik pepohonan memandangi gadis itu dengan tatapan terpaku, mengamati gadis itu yang menangis tertunduk dengan bahu bergetar.

Ketika mendengar teriakan pilu dari bibir gadis itu, mendadak perih di hatinya menjadi-jadi. Dia yang bersembunyi dibalik pepohonan, rasanya ingin berlari dan merengkuh tubuh lemah itu.

Razka tersadar dari lamunannya. Dia lalu menoleh kearah jendela kamar, menatap rintik hujan yang masih bertahan hingga malam.

Karena terlalu lama terdiam, rasa kantuk mulai menyerang-nya, dia terus menguap beberapa kali, lama-kelamaan matanya juga mulai terasa berat. Hingga beberapa menit kemudian, pada akhirnya netra sayu itu mulai tertutup dan tak lama jiwanya menyatu dengan keheningan malam.

Sementara di sisi yang lain. Nara tengah duduk melamun di ruang keluarga dengan telivisi yang menyala dan segelas teh jahe di tangannya.

Sangking fokusnya melamun, dia tidak sadar bahwa sang abang menatap-nya dari tadi. Harsya melangkah menghampiri adiknya dan mendudukkan badannya di samping Nara.

"Kalau ada masalah itu cerita, jangan diem kayak patung pancoran," tegurnya.

Nara tersentak lalu menolehkan kepalanya ke arah Harsya. "Aku baik-baik aja kok," cicit Nara dengan suara kecilnya.

Sedetik kemudian Harsya menarik tubuh adiknya dan membawanya kedalam dekapannya.

"Kalau mau nangis, nangis aja! Abang kan udah bilang, adik kesayangan abang itu hanya boleh terlihat lemah kalau di depan abang, tapi harus kuat di depan orang lain," tutur Harsya. Tangannya bergerak mengelus rambut sepinggang milik sang adik.

Detik dan DetaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang