Perang akan dimulai, persiapan sudah dilakukan di seluruh Konoha, semua shinobi juga sibuk mempersiapkan diri. Aku merebahkan diri di tempat biasa tim-ku berlatih. Setahuku, perang sangatlah mengerikan, teriakan sakit, jeritan menderita dan pasti akan memakan banyak korban. Saat mendengar hal itu dari Kakashi-sensei dan Guy-sensei, rasa percaya diriku menurun.
Bukan karena aku takut kehilangan nyawaku, tapi karena aku takut saat pulang ke desa nanti, orang yang kukasihi sudah gugur di medan perang."Apa yang kau lakukan di sini, Y/N?"
Aku mendongak dan melihat Neji menatapku dengan aneh. Ia duduk di sebelahku dengan sebelah kaki menekuk. Mulutku terkatup rapat, sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan bodoh Neji. Tidak perlu byakugan untuk mengetahui apa yang sedang kulakukan.
"Kudengar kau memimpin klan Hyuuga di barisan depan?"
"Begitulah. Padahal Hinata-sama adalah golongan atas dan aku tahu kalau ia mampu untuk memimpin klan di barisan depan," balas Neji. Ia menundukkan kepalanya, terlihat tidak terlalu senang dengan perintah itu.
Hah... aku menghela nafas panjang sambil memposisikan diriku di sebelah Neji. Sebenarnya Neji adalah orang yang paling peduli dengan Hinata. Saat mata Hinata diperban dulu, ia tidak pernah beranjak dari sisi Hinata, ia terus membantu Hinata tanpa diketahui. Aku terkekeh pelan mengingat kejadian itu, siapa sangka Neji yang terkesan angkuh memiliki sisi yang peduli?
"Apa ada yang lucu?"
"Tidak," aku menggeleng. "Hanya teringat beberapa kenangan yang lucu."
Tatapan Neji beralih ke depan. Pemandangan desa tampak jelas dari tempat kami sekarang, membuatku kembali teringat dengan Neji yang dulu. Neji yang angkuh, arogan, suka meremehkan orang lain, tapi aku melihat Neji yang berbeda sekarang.
"Kau tahu, Hiashi-sama mempercayakan klan Hyuuga padamu karena beliau tahu kalau Hinata terlalu lembut untuk hal seperti itu," kataku pelan.
"Kau berkata kalau Hinata-sama itu lemah?"
Aku menggeleng. "Aku tidak pernah berkata kalau ia lemah, tapi ia selalu mengutamakan perasaanya. Kita berdua sama-sama tahu kalau memutuskan hal dengan perasaan akan beresiko tinggi, apalagi di medan perang. Berbeda denganmu yang selalu tenang dalam segala situasi dan bisa memikirkan keputusan yang paling tepat. Apa jadinya kalau Hinata menjadi cemas dan ceroboh karena melihat salah satu anggota klan Hyuuga mati di depannya?"
Ah... membicarakan tentang kematian membuatku teringat dengan kecemasan yang kurasakan sebelumnya. Mungkin aku juga akan seperti itu saat melihat orang yang kusayangi tewas di depanku. Kalau itu terjadi dan pasti akan terjadi, apa yang akan kulakukan untuk mencegahnya?
"Kurasa kau benar, Y/N."
Neji tersenyum tipis ke arahku lalu mengangguk pelan. Rasa cemasku sedikit menghilang saat melihat senyumnya, dengan ragu-ragu aku merebahkan kepalaku di bahunya dan menyadarkan tubuhku di sisi kanannya. Tangan Neji bergerak memeluk pinggangku dan menggenggam tanganku erat.
"Bagaimana denganmu? Apa kau takut dengan perang ini?" tanya Neji.
"Tentu saja aku takut. Bagaimana kalau aku tidak kembali bersama dengan teman-temanku? Atau kau tidak ikut kembali bersamaku? Apa yang harus kulakukan saat melihat temanku tewas di depan mataku nanti? Apa aku harus menyelamatkannya dulu atau aku harus melanjutkan pertempuran dengan jasad sebagai temanku? Bagaimana kala-"
"Kau terlalu memikirkannya dan kau terlalu khawatir," potong Neji. Tangannya menutup mulutku, mencegahku untuk berbicara lebih lama.
Aku menatapnya tajam, memintanya untuk melepaskan tangannya tanpa suara. Tangannya bergerak ke pipiku dan mencubitnya keras. Ringisan keluar dari bibirku dan Neji tersenyum tipis.
"Kau pasti akan kembali bersama dengan yang lain, termasuk aku. Saat melihat temanmu tewas, kau harus tetap bertempur sampai akhir. Kalau menghentikan pertempuran dan membuatmu terluka, kematian temanmu menjadi sia-sia," Neji mengusap pipiku, tempat ia mencubitnya barusan.
Bayangan mengerikan terlintas di benakku. "Bagaimana kalau kau yang tewas di depanku, Neji?"
"Teruslah bertempur, jangan menyerah hanya karena aku mati. Karena kalau kau terluka karena kematianku, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri, Y/N," pelukan Neji semakin erat, ia menaruh dagunya diatas kepalaku, ia bahkan sempat mencium dahiku lembut. "Berjanjilah padaku, Y/N."
Aku terdiam. Tidak memiliki jawaban untuk ucapan Neji barusan.
***
Mataku melebar, kakiku lemas, nafasku terhenti saat melihat pemandangan di depan. Neji berada di dalam pelukan Naruto dengan tiga benda yang dikeluarkan Jyuubi menancap di punggungnya. Ikat kepalanya terlepas menampakkan segel di dahinya, darah keluar dari mulutnya, matanya setengah tertutup. Hinata yang berada di sebelahku juga bereaksi sama, ia hanya diam dan memperhatikan kata-kata terakhir Neji.Aku tidak memperhatikan apa yang Neji katakan pada Naruto, aku terlalu syok untuk fokus. Yang terlihat hanyalah tatapan Neji yang menatapku sedih dan bibirnya mengucapkan kata. "Aku mencintaimu. Maafkan aku," setelah itu tubuhnya terjatuh.
Bahkan sampai Lee dan Tenten datang ke tempat kami pun, aku masih belum bisa tersadar dari rasa terkejutku. Lee menangis sambil memeluk jasad Neji, Hinata menampar pelan Naruto dan mulai menyadarkannya, Tenten menghampiriku dan memelukku erat.
Naruto menghampiri kami dan menepuk punggung Lee. Chakra berwarna kemerahan muncul seketika. "Neji akan benar-benar mati saat kau melupakannya, sampai saat itu ia akan selalu hidup di dalam hatimu."
Raut wajah Lee berubah, ia yang sebelumnya menangis sekarang menjadi penuh kepercayaan diri. Naruto juga melakukan hal yang sama padaku. Ia berjongkok, tangannya menepuk bahuku lembut. "Ingat apa yang Neji katakan, Y/N."
Pikiranku kembali pada saat kami sebelum berperang, saat aku masih dalam pelukan Neji, saat ia memaksaku untuk berjanji padanya. Teruslah bertempur, jangan menyerah hanya karena aku mati. Karena kalau kau terluka karena kematianku, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri, Y/N. Benar, aku tidak boleh menghina kematiannya, aku tidak boleh membuatnya sedih lebih lama lagi.
Tatapanku terfokus pada Naruto dan Hinata yang sedang bergandengan tangan di depanku. Neji pernah memberitahuku kalau awalnya ia tidak suka dengan Hinata yang menyukai Naruto, tapi saat mendengar Naruto menjadi pahlawan Konoha dan Hinata ikut menolongnya, ia bilang ingin melindungi mereka berdua. Sekarang aku tidak hanya hidup untuk cita-citaku, tapi juga hidup untuk keinginan Neji. Dan aku berhasil!
Kami menang perang, sempat terjadi kerusuhan setelah perang, tapi desa baik-baik saja. Naruto dan Hinata akhirnya menikah, aku menghadiri pestanya dengan membawa foto Neji dengan harapan ia juga akan senang saat melihat mereka berdua. Awalnya Hanabi menolak keinginanku untuk menggantikannya memegangi foto Neji, tapi dengan sedikit rayuan, aku berhasil membujuknya.
Melihat mereka berdua membuatku berpikir, kalau Neji masih hidup mungkinkah aku akan menjalani hal yang sama dengan mereka? Atau mungkin karena terlalu angkuh, ia tidak bisa mengucapkan kata-kata itu? Aku terkekeh pelan. Peganganku pada fotonya semakin mengerat, rasanya seperti aku sedang memeluk Neji yang asli.
Aku mendongak, menatap langit yang terlihat sangat cerah, bersih dari awan. Lihat Neji, aku masih hidup dan ikut berbahagia dengan yang lain, aku masih tersenyum saat mengingatmu dan aku akan terus mengingat janjiku padamu. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya....
"Y/N, apa yang kau lakukan di sana? Ayo cepat kemari, kita akan berfoto!" teriakan Lee membangunkanku dari lamunan tentang Neji.
"Baiklah!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto One Shots
FanfictionCuma kumpulan dari berbagai karakter yang ada di Naruto. (Request CLOSED)