Hatake Kakashi *Modern*

3.8K 419 21
                                    

Y/N, Kakashi, Obito dan Rin. Keempatnya bagai gula dan semut. Mereka hampir selalu bersama, selain karena jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh dan searah, juga fakta bahwa mereka sudah berteman dekat sejak masih taman kanak-kanak. Sulit menemukan yang satu tanpa yang lainnya, karena faktor mereka berteman dekat juga karena ... mereka menyukai satu sama yang lain.

Y/N menyukai Obito, Obito menyukai Rin, sedangkan Rin menyukai Kakashi dan hingga saat ini masih belum ada yang mengetahui dengan pasti apakah Kakashi tengah menyukai seseorang. Iya, memang rumit dan membingungkan.

Rantai perasaan di antara mereka bagai lingkaran setan. Menjerat dan tak bisa dilepas. Siapapun yang baru mengenal keempatnya pasti langsung tahu bahwa ikatan di antara mereka tidak hanya sekedar sahabat. Tidak jarang, cemburu menguasai salah satunya hingga menegangkan tali di antara mereka. Rumit. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang rela melepaskan perasaannya.

Hari ini, Y/N lagi-lagi harus memendam luka. Y/N tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Obito secara langsung. Ia tahu bahwa mata Obito hanya tertuju pada Rin seorang, sebagai gantinya ia rela menjadi telinga Obito, mendengarkan pemuda itu berkeluh kesah sembari bercerita mengenai perasaannya. Iya, Y/N sebodoh itu.

“Kudengar dari Anko dan Kurenai, Rin akan mengungkapkan perasaannya hari ini pada Kakashi,” keluh Obito. Ia mengubur wajahnya dalam lipatan tangan seolah tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada Y/N.

Tangan Y/N terjulur, mengelus kepala Obito lembut. “Kalau begitu, kau duluan yang menyatakan perasaanmu pada Rin.”

“Mana bisa!” seru Obito. Ia menepis pelan tangan Y/N, kini bertopang dagu sembari melempar tatapan keluar jendela. “Kita sama-sama tahu Rin hanya menganggapku sahabatnya. Lagipula, aku tidak akan bisa bersaing dengan si Jenius Kakashi.”

“Tentu saja bisa,” sanggah Y/N. “Kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh Kakashi. Kau hanya belum menyadarinya.”

Obito bungkam. Y/N juga tidak berkomentar. Keduanya sibuk memandangi pohon di luar jendela yang bergoyang akibat tiupan angin musim semi. Sekarang sudah jam pulang sekolah, hanya ada beberapa murid yang masih tinggal di dalam kelas sedangkan sisanya sibuk di klub atau memilih untuk pulang dan bersantai di rumah. Y/N sebenarnya ikut klub jurnalis, namun karena ketua klubnya sedang sakit dan dialah yang memegang kunci ruangan, maka untuk hari kegiatan klub Y/N diliburkan.

Obito memilih untuk ikut klub sepak bola, tapi karena ia mengalami cedera ringan di pertandingan yang terakhir, kaptennya bersikeras melarangnya untuk ikut latihan hingga kondisi kakinya membaik. Seharusnya mereka berdua sudah pulang sekarang. Seharusnya. Namun, mengingat Kakashi menghilang di perpustakaan sedangkan Rin tengah sibuk di klub medisnya, keduanya memutuskan untuk menunggu sahabat mereka agar pulang bersama.

“Kau ... benar-benar berpikir ada yang tidak dimiliki oleh Kakashi dan hal itu ada padaku?” tanya Obito dengan nada berbisik, enggan mengusik suasana damai di antara mereka.

“Tentu saja,” angguk Y/N. “Setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mungkin saja kekurangan Kakashi adalah kelebihanmu dan begitu juga sebaliknya. Kau hanya perlu yakin pada diri sendiri.”

Wajah Obito perlahan sumringah. Ia memandang Y/N dengan kepercayaan diri yang baru saja ditemukan. Refleks, ia meraih kedua tangan Y/N, menggenggamnya erat. Y/N terkesiap, tidak menyangka Obito akan bereaksi seperti ini atas ucapannya.

“Kalau begitu, apakah Rin akan menerimaku jika aku memberitahu perasaanku padanya?” Obito memandangnya dengan penuh harap seakan jawaban Y/N adalah ultimatum yang menentukan nasibnya.

Y/N terkekeh kecil. “Kurasa kalau kau memberitahu perasaanmu dengan baik, perlahan tapi pasti Rin akan luluh padamu. Ingat! Ungkapkan dengan cara yang benar, jangan langsung berteriak di hadapannya kalau kau menyukainya.”

Obito tertawa malu sembari menggaruk belakang kepalanya canggung. “Hehehe ... kau terlalu mengenalku, Y/N.”

“Aku sudah berteman denganmu sejak kecil, baka, tentu aku mengenalmu dengan baik,” Y/N menarik pipi Obito gemas. “Sekarang, apa kau sudah siap untuk memberitahu Rin bagaimana perasaanmu?”

Obito menarik napas panjang dengan mata terpejam. Sebelah tangannya kembali mengisi celah di antara jemari Y/N, meremas lembut seolah Y/N memberikan keberanian hanya dengan berada di sisinya.

Jujur, sudut hati Y/N tersiksa. Sesungguhnya, ia tidak ingin menyemangati Obito. Sebenarnya, ia ingin meneriakkan perasaan terpendamnya pada pria bermarga Uchiha itu. Sangat ingin. Namun, cengiran bahagia Obito menahannya. Saat ini yang berada dipikirannya hanyalah Rin, Rin dan Rin. Tidak ada tempat untuknya.

“Yosh! Aku sudah siap,” Obito bangkit dari kursi sambil memasang senyum lebar. “Doakan yang terbaik untukku ya, Y/N.”

“Tentu saja. Cinta memang sudah seharusnya diungkapkan,” Y/N membalas senyum Obito. Ia mengacungkan ibu jari sebagai ungkapan semoga beruntung. “Aku yakin Rin sedang berada di sisi lapangan atau di ruang klubnya. Ingat ya, bicaranya dengan tulus dan jangan berteriak.”

“Siap!”

Y/N memandang punggung Obito yang perlahan menghilang dibalik dinding. Ia mendengus kecil, menyayangkan sikap pengecutnya. Bagaimana bisa ia mendorong Obito untuk segera mengungkapkan isi hatinya, sementara ia tidak melakukan hal yang sama? Ditambah lagi dengan fakta bahwa Y/N yakin, cepat atau lambat dengan kepribadian Obito yang penyayang, Rin pasti akan luluh juga.
Ia mengantukkan kepalanya ke meja, berusaha menahan air mata yang siap tumpah. Wajahnya tersembunyi di balik lengan dengan kedua tangan terkepal. Ingin rasanya segera pulang dan menuangkan segala emosinya di atas bantal.

“Dasar hipokrit,” suara seseorang memecah keheningan. Y/N mengangkat kepalanya, menoleh ke arah sumber suara. “Kau memberinya saran tapi tidak melakukan apa yang kau katakan. Ucapanmu berkebalikan dengan isi hatimu, Y/N.”

Y/N mengulas senyum pahit. Kakashi berdiri di hadapannya dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana. Keduanya bertatapan sejenak, tapi Y/N mengalihkan pandangan lebih dulu. Sesuatu dalam tatapan Kakashi seolah mengintimidasinya.

“Apa yang bisa kulakukan Kakashi? Obito hanya memandang Rin sejak dulu. Aku tidak bisa melakukan apapun,” gumam Y/N. Ia tidak menyangkal tuduhan Kakashi. “Beberapa cinta tidak harus memiliki.”

“Omong kosong,” sergah Kakashi. Kini, lengannya bertumpu pada meja, mendekatkan wajahnya pada Y/N. “Jika kau tidak ingin memilikinya, yang kaurasakan bukan cinta, Y/N.”

Mata Y/N berkilat marah. Ucapan Kakashi membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Tentu saja ia tahu bahwa ia ingin memiliki orang yang sangat ia cintai. Sangat ingin. Namun, tidak semua harapan mampu menjadi realita. Kasus cinta bertepuk sebelah tangan Y/N adalah salah satunya.

“Kau tidak tahu apa yang kurasakan. Untuk seseorang yang tidak memperlihatkan perasaannya, kau mungkin saja tidak mengerti apa yang kualami. Kau tidak berhak menghakimi dan mengomentari apapun yang kulakukan. Kau tidak mengerti apapun,” geram Y/N. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha menahan emosi yang meluap. “Jangan bicara seolah kau mengerti segalanya Kakashi.”

“Aku mengerti Y/N. Aku yang paling mengerti,” gumam Kakashi. “Gadis ini sudah berada dalam pikiranku jauh sebelum kau menyadari perasaanmu pada Obito. Aku tidak pernah berkata apapun karena ia menyukai orang lain, tapi kurasa sudah waktunya aku bertindak.”

Tangan Kakashi terjulur, menghapus jejak air mata yang tidak Y/N sadari. Entah sejak kapan Y/N mulai menangis. Tatapannya melembut, walaupun tidak terlihat langsung, Y/N yakin saat ini Kakashi tengah tersenyum kecil.

Kenapa? Batin Y/N. kenapa kau menatapku selembut itu?

“Cinta harus memiliki Y/N,” lanjut Kakashi. “Dan aku akan melakukan apapun untuk menyadarkan gadis itu bahwa aku selalu berada di sisinya, bahwa kali ini aku yang akan menguasai hatinya.”

Y/N terhenyak. Ia tidak pernah menyangka Kakashi mampu berucap begitu tulus pada seseorang mengingat karakternya yang dingin dan sarkas. Ia tidak akan menduga, momen Kakashi menunjukkan sedikit dari emosinya—selain sarkasme, adalah saat pria itu berhadapan dengannya, menangkup wajahnya dengan hati-hati bagai porselen.

Gelombang emosi menenggelamkan Y/N. Sedih, kecewa juga terkejut bercampur menjadi satu. Hatinya tidak siap dengan perubahan suasana yang begitu cepat hingga reaksi refleksnya adalah menepis tangan Kakashi. Kilas terluka tampak sejenak di iris keabuan Kakashi dan hilang secepat kilat. Y/N berusaha menghindari tatapan sahabatnya dengan beranjak dari kursi, memilih untuk berdiri di depan jendela dan mengamati pemandangan sekitar dengan gugup.

“Aku tidak mengerti dirimu, Kakashi,” cicit Y/N lemah.

Kakashi hanya berdehem pelan sebagai respon.

Di luar jendela, Y/N menyadari sosok Rin yang tersenyum riang dan berangsur mendekati lapangan di samping kelas mereka. Sudut matanya menangkap siluet Obito yang berjalan ke arah Rin. Sudut hati Y/N seolah diremas paksa. Sakit. Ia hanya mampu mengamati keduanya dengan tatapan nanar.

Punggung Y/N menegang saat menyadari Kakashi sudah berdiri tepat di belakangnya, bersamaan dengan seruan bahagia dari kedua orang yang sedang ia amati. Napas Y/N tercekat saat Rin menghambur pada Obito. Namun, detik selanjutnya pandangannya menggelap. Tangan besar nan hangat menutupi matanya.

“Berhenti melihat Obito,” bisik Kakashi. “Aku yang selalu bersamamu, di sisimu. Kapan kau akan menyadarinya, bodoh?”

“Kakashi ...”

Y/N menggigit bibir. Matanya memanas ketika merasakan sapuan lembut pada puncak kepala dan keningnya. Mungkin ... mungkin sudah saatnya ia membuka hati untuk orang lain. Untuk seseorang yang sangat mengerti perasaannya. Untuk Kakashi yang diam-diam selalu memperhatikannya.

“Apa ... apa yang harus kulakukan, Y/N?” desis Kakashi. “Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti melihatnya dan mulai menyadariku?”

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang