"Kau tidak seharusnya bersama dengan seorang Uchiha. Apa kau lupa kalau kau adalah seorang Senju? Ingat kata-kataku dengan baik, Y/N. Kalau aku ataupun kedua kakakmu melihat kau bersama dengan bocah Uchiha itu, jangan pernah harap kalau kau tertulis dalam silsilah keluarga kita," bentak ayahku dengan suara tegas. Di belakangnya, kakakku Hashirama hanya menatapku dengan tatapan memelas dan meminta maaf, sedangkan Tobirama menatapku dengan tatapan datar dan penuh dengan rasa kesal.
Cukup sudah! Tanpa mendengarkan ucapannya lagi aku berlari ke arah hutan. Hutan yang selalu menjadi saksi bisu pertemuanku dengan Madara. Aku tahu kalau Senju dan Uchiha memang tidak ditakdirkan bersama, malah tidak akan pernah mungkin berdamai. Ini semua karena ulah nenek moyang kami, tapi apakah salah kalau aku mencintai seorang Uchiha? Apakah aku salah kalau aku mencintai seorang Uchiha Madara?
Aku merasa damai dengannya, walaupun seharusnya ia adalah musuhku. Aku merasa aku akan baik-baik saja, walaupun kunainya di haruskan untuk membunuhku. Aku merasa dicintai olehnya yang seharusnya menjadi penyebab kematianku. Apakah aku salah?
Madara tidak membunuhku saat ia tahu kalau aku adalah seorang Senju. Ia malah bersikap ramah dan baik padaku, bahkan mengajariku teknik yang hanya di ketahui oleh seorang Uchiha saja. Ia memperlakukanku lebih baik daripada ayahku memperlakukan diriku. Bahkan, seingatku ia pernah berteman dengan Hashi-nii walaupun akhirnya ayahku mengetahuinya juga.
Tidak. Aku tidak salah karena mencintainya, aku tidak salah karena aku merasa lebih baik bersamanya dan aku tidak salah kalau aku rela mati untuknya.
"Y/N? Kenapa kau berada di sini? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya seseorang. Seseorang yang sudah sangat kukenal, seperti aku mengenal keluargaku sendiri. Sayang, perasaanku melebih perasaan seorang keluarga pada kerabatnya. Madara.
Madara berjongkok di depanku. Tangannya mengenggam bahuku erat-erat, menyuruhku untuk mengangkat kepala tanpa suara. Aku mendongak, menatap matanya yang penuh dengan sirat khawatir. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum saat ibu jarinya mengusap jejak air mataku.
"Ada apa, Y/N?" tanya Madara mengulangi pertanyaannya.
"Ayahku tahu. Ia menyuruhku untuk tidak pernah bertemu lagi denganmu atau Senju tidak akan menjadi nama belakangku lagi, tapi aku tidak bisa Madara. Aku tidak bisa kalau tidak menemuimu. Aku tidak bisa."
"Lihat aku," suruh Madara. Tangannya menangkup wajahku, memaksaku untuk menatapnya dalam-dalam. "Semua akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja. Aku akan menyelesaikan perang ini dan kita akan bersama, oke? Kita akan baik-baik saja."
"Bagaimana kau tahu? Bagaimana kau tahu kalau semuanya akan baik-baik saja? Ayahku dan Tobi-nii sedang mendiskusikan cara menyerang Uchiha yang paling baik. Hashi-nii tidak bisa melakukan apapun karena ia ingin melindungi keluarganya. Bagaimana kau tahu, Madara?"
"Karena aku akan memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Aku yang akan menjagamu kalau Hashirama tidak ingin menjagamu. Aku yang akan mencintaimu kalau keluargamu tidak mengakuimu lagi. Aku yang akan melindungimu kalau seluruh dunia melawanmu, Y/N. Jadi, kau akan baik-baik saja," kata Madara dengan tatapan yakin. Aku hanya mendengar nada percaya diri di sana, seakan ia yakin kalau semuanya akan berjalan seperti yang ia rencanakan.
"Bagaimana dengan keluargamu sendiri?" tanyaku.
Madara tidak menjawab. Ia membawa tubuhku mendekat dan memelukku erat. Dagunya berada di bahuku, lengannya melingkari pinggang dan sekitar bahuku, helaan nafasnya membuat pipiku terasa lebih hangat. Kepalaku bersandar di dadanya, lenganku memeluk pinggangnya dan hidungku menghirup bau tubuhnya yang selalu membuatku tenang.
"Madara?"
"Hm?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Kurasa mereka sudah tahu, tapi tidak memberikan reaksi apapun. Bagaimana pun juga akulah anak tertua mereka, aku yang paling kuat diantara semua anak, mereka tidak akan membuangku hanya karena dugaan yang tidak pasti. Mereka akan kalah kalau mereka membuangku dan Senju mengambilku," balas Madara. Suaranya agak tertahan karena rambutku.
"Enaknya menjadi yang paling kuat," gumamku perlahan.
"Kau tidak perlu menjadi kuat, Y/N. Cukup berada di sampingku dan aku akan melindungimu dari bahaya, bahkan dari keluargamu sendiri," sahut Madara.
"Tidak. Aku juga harus lebih kuat untuk melindungimu. Aku tidak mau kalau kau harus menghadapi semuanya seorang diri. Aku tidak akan pantas untukmu kalau hanya bisa diam dan menonton dari balik panggung."
Madara terkekeh pelan. Ia agak menjauh, lalu mencium dahiku lama. "Sepertinya aku tidak salah memilih kunoichi yang akan menemaniku sampai aku mati."
"Kau tidak akan mati semudah itu, Madara. Sebaliknya, kurasa aku yang tidak salah memilih shinobi yang tidak akan mengkhianatiku sampai aku mati."
Tiba-tiba saja suasana romantis yang tenang itu di rusak dengan suara lain yang sangat ku kenal. Suara Hashirama yang memanggil namaku. Aneh, seharusnya ia sudah tahu dimana aku sering bertemu dengan Madara, kenapa ia masih memanggil namaku?
"Kurasa aku harus pergi, Y/N. Aku tidak ingin Hashirama melihatku dan menceritakan mimpinya padaku lagi. Sampai bertemu nanti, anata," bisik Madara. Ia mencium pipiku cepat, lalu menghilang.
Bersamaan dengan hilangnya Madara, Hashirama tiba-tiba sudah berada di depanku. Ia berjongkok di hadapanku, persis seperti yang dilakukan Madara. Anehnya, Hashirama tersenyum penuh arti padaku.
"Aku tahu kalau Madara baru saja pergi, dasar tukang pamer itu. Sekedar catatan, aku tidak pernah menolak hubunganmu dengan sahabatku itu. Mungkin suatu saat nanti kalian akan menikah sebelum aku. Rasanya tidak rela melepaskan adikku sendiri untuk sahabatku yang tukang pamer itu," kata Hashirama dengan suara menggumam, ia bahkan cemberut sesaat saat mengatakan Madara adalah sahabatnya yang tukang pamer.
"Terima kasih, Hashi-nii."
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto One Shots
FanfictionCuma kumpulan dari berbagai karakter yang ada di Naruto. (Request CLOSED)