22. KERJA KELOMPOK (BAGIAN 2)

53 13 3
                                    

"Pinjam sebelah." Aceng bergumam pelan setelah berpindah tempat ke sebelah Monita. Tangan kirinya terulur, menantikan diberi sesuatu. Monita berpikir keras mencerna apa maksudnya, sampai akhirnya Aceng berhenti menatap layar laptop di depan mereka dan beralih memandang earphone yang digenggam Monita.

"Oh." Monita segera menyambungkan kembali kabel earphone ke laptop dan memberikan satu cabang untuk Aceng. Satunya lagi, ragu-ragu Monita pasangkan ke telinga kanannya. Karena Aceng telah tenggelam memilih-milih musik yang tepat, tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain ikut mendengar.

Aceng mencoba-coba beberapa musik. Kadang, tidak sampai tiga detik, langsung diganti. Atau, sudah setengah jalan baru dieliminasi. Beberapa didengar sampai habis, ada juga yang diputar berkali-kali. Apa yang terdengar di telinga kanan Monita, cocok sekali menjadi soundtrack pikirannya. Lompat-lompat tak beraturan, ada yang keras ada yang lemah, dan harus ditinjau satu per satu.

Hari ini dia sudah dibelikan minuman (walau karena promo) dan dibantu pilih-pilih musik (meski atas usulan Jhoni). Ekspresi Aceng juga santai-santai saja, tidak ada kerutan di antara alis atau tanda-tanda terpaksa lainnya. Itu semua pertanda baik. Aceng tidak menghindar darinya, bahkan tampak suportif. Nasib selanjutnya tinggal tergantung pada Monita. Jika terus diam, kebekuan di antara mereka hanya mencair di satu sisi. Dia juga harus ikut berpartisipasi.

Mungkin bisa dimulai dengan ngobrolin musik yang mereka dengar.

"Yang ini kayaknya cocok, deh, untuk penutup."

"Terlalu rame, nggak sih?"

"Ini mungkin bisa jadi cadangan."

Entah karena terlalu fokus atau merasa ucapan Monita terlalu retoris, Aceng hanya merespons singkat-singkat. Paling sering dengan anggukan kepala. Selebihnya terus menyalin tautan dan judul musik yang kedengarannya oke ke Notepad. Ujung-ujungnya Monita merasa seperti menjadi komentator tak diundang. Dia harus cari cara lain. Apa ini saatnya cerita tentang pengakuannya ke Dirga semalam? Monita hampir menggeleng tidak setuju. Situasinya kurang tepat. Terlalu banyak mata dan telinga. Tidak mungkin dia dan Aceng melipir ke ruang makan. Andai saja kemampuan membaca pikiran memang ada.

"Satu lagi yang ini aja?"

Monita tersentak dari renungannya, kemudian tersadar Aceng baru saja menanyakan pendapat tentang musik yang telah selesai diputar, yang sayangnya tidak sempat dia dengar dengan saksama. "Coba gue dengar lagi," pintanya.

Aceng memutar kembali musik tersebut, dan Monita mencoba fokus mendengar sambil menepis pemikiran, ini mungkin akan jadi lagu terakhir yang mereka berdua dengar hari ini. Dan perkiraan itu semakin kuat setelah musik berhenti.

"Cocok banget buat adegan mecahin beton—eh maksudnya pematahan benda keras. Agak bikin deg-degan gitu." Monita mencoba memberikan komentar terakhir semenyenangkan mungkin.

Meski tidak sempat memastikan, telinga satunya yang tidak disumbat sempat menangkap gelak kecil Aceng. Sayangnya momen itu terlalu singkat. Aceng sudah kembali serius merampingkan daftar tautan, menutup tab browser yang tidak diperlukan, dan menyisakan halaman yang memuat musik pilihan mereka.

"Masih ada yang lain?"

Jika yang dimaksud Aceng adalah usulan musik, Monita akan segera menggeleng. Namun, jika lebih luas dari itu, jelas jawabanya: ada.

Masih banyak hal lain yang ingin dia sampaikan. Masih banyak yang ingin dia tanyakan. Entah itu tentang kado ulang tahun, tentang apa yang Amel sampaikan padanya di depan gerbang sekolah, tentang lip-sync di pelajaran Bahasa Inggris. Monita juga ingin memastikan apakah mereka masih bisa ngobrol-ngobrol di depan kios fotokopi, atau jika ada kesempatan lagi untuk santai-santai di kafe tantenya Dirga, apakah Aceng masih mau bercanda soal warna baju.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang