17. PENGAKUAN DI KAFE

154 34 6
                                    

Ramainya kafe depan sekolah hari ini sama seperti hari Rabu biasanya. Suhu ruang juga terasa wajar. Bahkan di luar tidak mendung maupun panas. Namun, sejak tadi Monita tidak bisa bersandar tenang di kursinya.

Semenjak tragedi hilangnya kado Dirga, kafe ini tiba-tiba terasa seperti lokasi rawan bahaya. Jika Rabu lalu dia menjadi target interogasi Delia dan Priska, Rabu ini dia malah bersekutu dengan keduanya. Rencana untuk mengorek informasi dari Mauren benar-benar akan dilaksanakan. Semalam mereka sudah berdiskusi lewat obrolan grup, merancang strategi agar Mauren terhasut membocorkan siapa penulis puisi anonim di mading.

Pokoknya nggak ada acara ngancam-ngancam. Kana sempat mewanti-wanti.

Mauren udah pasti mau datang, kan Del? Priska malah mengkhawatirkan hal lain.

Monita sendiri berharap bisa mendapatkan sedikit gambaran tentang Mauren dan Dirga. Apa yang mereka obrolkan Senin lalu di dekat ruang guru. Hanya saja dia khawatir momen ini bukan kesempatan yang tepat. Mengalihkan topik dari puisi ke Dirga pasti akan terdengar jomplang.

"Ikmal udah lama pacaran sama Mauren?" Akhirnya Monita mencoba basa-basi sejenak, sesaat setelah Kana membawakan es teh lemon titipannya. Mereka datang ke kafe lumayan buru-buru untuk mendapat tempat dekat dinding kaca. Kata Priska, biar bisa mengamati gerbang sekolah, jaga-jaga jika Mauren berubah pikiran atau kabur.

"Kayaknya sekitar akhir tahun kemarin," Priska tampak mencoba mengingat-ingat, "tapi, dengar-dengar mereka satu SMP. Kenapa, Mon?"

"Nggak kenapa-napa. Gue kira mereka udah lama pacaran, soalnya gue lihat Mauren nggak terlalu canggung ngumpul sama teman-temannya Ikmal. Tapi, pas sama gue, kesannya sungkan banget gitu. Kalian ngerasain juga, nggak sih?"

"Mungkin karena dia belum kenal banget sama lo, Momon. Nggak mungkin juga kan langsung sok akrab," komentar Kana.

Delia beralih dari ponselnya dan ikut menambahkan, "Pas awal-awal Mauren orangnya memang rada awkward. Tapi lama-lama santai-santai aja, kok. Iya kan, Pris?"

Priska mengangguk sambil mengunyah donat isi jeli dan sesekali melirik ke arah gerbang sekolah.

"Balas chat gue juga nggak formal-formal banget, tapi tetap pakai manner, ya," lanjut Delia.

Bisa jadi Monita hanya terlalu sensitif, sampai-sampai curiga yang berlebihan. Penjelasan teman-temannya lebih bisa diterima akal sehat. Dengan Delia yang cuma teman sekelas pacarnya saja Mauren tidak canggung, apalagi dengan Dirga yang jadi teman semeja Ikmal. Bisa jadi mereka hanya kebetulan bertemu di depan ruang guru, kemudian bertegur sapa sebentar. Monita jadi sedikit menyesal. Sekarang kesannya dia baru saja menjelek-jelekan Mauren. Untuk mengenyahkan rasa bersalah, Monita segera membelokkan topik.

"Ngomong-ngomong soal chat, lo udah pastiin lagi ke Mauren, Del?"

Delia kembali memeriksa ponselnya. "Tadi di kantin pas lunch, sih, dia bilang bakal usahain datang. Kalau nggak bisa, bakal dikabarin sebelum bel pulang. Barusan gue udah chat, tapi belum dibalas."

"Apa kita datangin ke kelasnya aja?"

Kana menggeleng cepat, menolak usul Priska. "Kesannya maksa."

"Coba telepon."

Delia mengikuti saran Monita. Namun kelihatannya tetap tidak mendapat respon.

Priska kembali mengamati jalanan di luar kafe, berharap bisa menemukan jejak Mauren. Kemudian tiba-tiba dia berucap kecil, "Lagi ngurusin adiknya, kali ya?"

"Adiknya?" Monita dan Kana serempak menoleh heran.

"Dengar-dengar adiknya sakit parah. Terus keluarganya rada complicated git—astaga!"

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang