12. MENJEMPUT HARAPAN

163 35 12
                                    

Keesokan paginya, untuk pertama kali sejak menginjak usia tujuh belas, Monita memasuki gerbang Raya Jaya dengan langkah ringan. Dia sengaja datang lebih awal dan menunggu di depan pos satpam. Matanya teliti mengawasi kedatangan Aceng. Setelah mendapatkan petunjuk sepulang dari kafe kemarin, Monita yakin Aceng bersedia menjadi sekutu.

Tinggal tanyakan beberapa hal, pasti dia bisa membayangkan isi kado Dirga yang sebenarnya.

"Lagi nungguin siapa, Dek?" tanya Pak Satpam dari dalam posnya.

"Nungguin teman, Pak."

"Kenapa nggak di dalam aja? Memangnya bukan anak sini?"

Pak Satpam ada benarnya. Namun, Monita tidak bisa sabaran. Dia benar-benar ingin mendiskusikan masalah kado detik itu juga. Kalau sudah di kelas, rasanya tidak leluasa membahas sesuatu yang rahasia. Dan kios fotokopi pun bukan pilihan yang tepat karena tempat itu biasanya ramai sebelum upacara.

Monita hanya bisa membalas, "Soalnya udah janjian di sini," sambil tersenyum formal, berharap tidak menerima pertanyaan lanjutan.

Sayangnya Pak Satpam semakin usil dan kembali bertanya, "Oh .... Nungguin pacar, ya?"

Monita ingin membantah, tapi sudut matanya menangkap kedatangan Aceng di depan sekolah. Wajah cowok itu awalnya tidak kelihatan karena tertutup helm, tapi Monita langsung mengenal kardigan merah marun yang dia kenakan. Aceng diantar seorang perempuan yang kelihatannya umurnya tidak terlalu jauh dari mereka. Perempuan itu juga mengenakan helm seperti Aceng. Saat menaikkan kaca penutup wajah, paras oriental yang berseri mencuri perhatian Monita. Apa dia saudara Aceng? Mereka terlihat mirip. Namun Monita tidak bisa memastikan apakah itu kemiripan turunan atau hanya ciri khas.

Setelah Aceng turun dari motor dan berjalan memasuki gerbang sekolah, Monita segera segera mencegatnya.

"Aceng!"

Aceng terkejut melihat kehadiran Monita bagaikan guru piket yang sedang razia. "Ngapain di sini?" tanyanya ragu-ragu sambil memeriksa sekitar.

"Pacarnya udah nungguin dari tadi, tuh." Suara Pak Satpam kembali terdengar.

Sebelum semakin parah, Monita menarik Aceng yang masih memasang tampang linglung. Mereka melintasi pintu utama dengan agak terburu-buru.

"Pelan-pelan aja. Kan belum telat."

Monita memelankan langkah sambil mengeluh, "Itu satpam kepo banget, deh. Lo dekat sama dia?"

Aceng menggeleng. "Nggak terlalu."

"Nyesal gue nunggu di situ."

"Ngapain nunggu?"

Monita meringis, tidak bisa memberi jawaban yang diplomatis. Dan sepertinya Aceng bisa mengendus ketidak-beresan di hadapannya.

"Mau tanya soal kemarin, ya?" tebak Aceng.

Monita mengangguk sekaligus tersenyum kecil. Semakin lama berteman dengan Aceng, dia semakin terlatih untuk berterus terang, dan itu seperti sebuah hak istimewa yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya.

"Habisnya lo nggak balas chat gue," keluh Monita.

"Oh, itu sebenarnya gue agak nyesal ...." Aceng ragu-ragu melanjutkan.

"Nyesal bantuin gue?"

Aceng menggeleng. "Memangnya itu membantu?"

Monita berpikir sejenak sambil memelankan langkahnya untuk memperlambat waktu tempuh. Mereka sudah melewati meja piket dan berbelok ke koridor sekolah, sementara masih banyak yang harus didiskusikan dengan Aceng.

Kacamata MonitaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant