27. FOTOKOPI JAWABAN (BAGIAN 1)

45 11 0
                                    

Sesuai perjanjian, Monita hanya diizinkan bolos sehari. Besok paginya dia harus kembali berseragam putih abu-abu, memasang sepatu, dan diantar ibu. Sebenarnya dia berniat berlama-lama saat menyantap sarapan, berangkat ke sekolah di menit-menit terakhir. Lebih bagus jika sesampainya di sana, begitu menginjak lantai kelas, bel masuk langsung berbunyi. Namun ibunya susah diajak negosiasi.

"Nanti macet," katanya. "Kamu semalam udah bolos. Kalau hari ini telat, Mami nggak mau permisiin kamu lagi."

Akhirnya mereka berangkat lebih cepat dari biasanya. Sepertinya bukan hanya ibunya yang takut terjebak macet hari ini. Saat mereka tiba di Raya Jaya, kendaraan berdatangan tanpa henti, bergantian menurunkan penumpang di depan gerbang. Monita sempat berpapasan dengan beberapa teman seangkatan. Mereka saling tersenyum untuk menyapa, hanya saja ada yang aneh dari cara mereka memandang. Seolah ada yang lucu, tapi segan untuk ditertawakan.

Bel masuk masih ada beberapa belas menit lagi. Monita berpikir, akan lebih baik jika dia mengambil jalan memutar untuk mengulur waktu. Hari ini tujuannya ke sekolah hanya untuk belajar, bukan bersosialisasi, terutama dengan teman sekelas. Sambil melewati gerbang, dia merencanakan rute yang akan dilewati: setelah meja piket, jangan belok kiri, belok kanan saja, lanjut jalan santai di koridor kelas sepuluh, singgah ke toilet lima menit, jalan cepat di koridor kelas dua belas, kantin, terus jalan, baru masuk ke kelas.

"Oi, Mon!"

Rencana itu buyar setelah Monita melewati meja piket. Jhoni datang dari arah ruang guru, masih menyandang ransel, terang-terangan melambai ke arahnya. Kalau sudah tepergok begini, tidak bijak rasanya jika menghindar. Monita pun membalas dengan senyum singkat.

"Kenapa nggak datang kemarin? Main-main pasti, kan?"

"Sok tau." Monita mengikuti Jhoni berjalan menuju kelas, tidak jadi ambil rute memutar. Paling-paling, sampai di kelas nanti, dia bisa pura-pura sibuk main ponsel. "Lagian nyokap gue udah izin sama wali kelas."

"Tapi jadi ketinggalan ngumpulin tugas, loh."

"Tugas? Seingat gue nggak ada tugas."

"Bu Witri nggak masuk kemarin, kita sekelas disuruh ngerjain soal latihan, langsung dikumpul hari itu juga. Soalnya nggak susah, bisa buka buku. Ada pilihan ganda, ada esai juga. Katanya buat tambah-tambah nilai."

Di persimpangan menuju kios fotokopi, mereka belok kanan. Monita sempat menarik napas dalam dan menjaga pandangan tetap lurus ke depan, saat melewati kelas Dirga.

"Tapi tenang," lanjut Jhoni masih dengan suara ringan, "lo bisa nyusul. Nanti gue kasih salinan soalnya. Kalau udah selesai, kasih ke gue, biar gue yang antar ke ruang guru."

"Oh. Oke," balas Monita.

Sebenarnya dia ingin menanggapi tawaran murah hati Jhoni dengan cara yang lebih santun, tapi mereka sudah tiba di pintu kelas, dan belum apa-apa dia sudah berpapasan pandang dengan Kana. Di meja mereka, Delia dan Priska juga ikut duduk menemaninya. Begitu menyadari kedatangan Monita, mereka berdua serempak menyambut dengan riang—terlalu riang.

"Momon! Welcome back!"

Risma dan Fara pun ikutan heboh, membuat seisi kelas melirik risau.

"Udah sehat, Mon?" tanya Risma. Semalam Monita izin dengan alasan kurang enak badan.

"Perhatian sekali Ibu Ketua ini," gurau Jhoni sambil menempati bangkunya. Monita baru sadar bangku Aceng masih kosong.

Alih-alih menjawab Risma, Monita malah menambahkan pertanyaan, "Aceng belum datang?"

"Nggak datang dia hari ini," kata Jhoni.

"Kenapa?"

"Kejuaraan pencak silat."

Kacamata MonitaWhere stories live. Discover now