18. PAGI KELABU

172 34 7
                                    

Merenung di dalam mobil sepanjang perjalanan menuju sekolah akhir-akhir ini menjadi kebiasaan baru Monita. Terlebih lagi setelah dia menemukan fakta baru yang berhubungan dengan kado ulang tahun dan orang-orang yang terlibat di sekitarnya. Seperti kemarin: Dirga dan Felix ternyata sepupuan. Semalaman dia berusaha mengingat-ingat apakah Delia, Priska, atau mungkin Dirga sendiri pernah menyinggung hal itu? Kenapa selama ini dia tidak tahu?

Dirga dan Felix jarang tampak bersama. Entah di kantin, di lapangan sekolah, di media sosial, atau bahkan di acara pembukaan cabang kafe. Namun, mungkin saja Monita yang kurang perhatian. Dia juga tidak setiap saat ada di dekat mereka. Lagipula, sepupuan bukan berarti harus terus menempel satu sama lain, bukan?

"Kamu ada dihubungi Tante Yola?"

Pertanyaan ibunya yang sedang berkemudi pelan, di tengah rintik-rintik hujan, membuat Monita mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Dia teringat akan pesan dari tantenya yang belum dibalas karena sibuk merencanakan pertemuan dengan Mauren di kafe.

"Oh iya!" Monita melirik sekilas ke arah ibunya dan meringis penuh penyesalan. "Kemarin Tante ada ngirimin foto gelang sama kalung gitu. Dia tanya, Moni suka yang mana, tapi lupa Moni balas ...."

Ibunya tersenyum miring, seolah sudah menebak segalanya. "Katanya kamu juga nggak angkat-angkat pas di-video call."

"Itu karena kebetulan hape Moni lagi di-silent," jawab Monita jujur. Mereka sudah dekat dengan gerbang Raya Jaya. Namun, hujan membuat antrian kendaraan tersendat dan mengular cukup panjang. Memang, hujan pagi ini tidak terlalu deras, tetapi tetap saja tidak aman untuk rambut dan seragam.

"Mami perhatikan kamu lagi sibuk banget ya akhir-akhir ini?" Ibunya bertanya sambil memperlambat laju mobil. Di depan mereka ada kira-kira enam hingga delapan mobil, menunggu giliran dijemput Pak Satpam menggunakan payung. Ada juga orang tua atau supir yang mengantar tumpangan mereka dengan payung sendiri, tetapi hanya segelintir.

"Namanya juga udah mau ujian, Mi." Punggung Monita semakin merosot di kursi penumpang. "Gurunya rajin banget ngasih tugas; tugas praktik, kelompok, esai ...." Ditambah masalah kado. Poin terakhir hanya diucapkan dalam hati.

Untung saja ibunya tersenyum prihatin. "Ya udah, nanti Mami coba jelasin ke tantemu."

"Thanks, Mi. Janji deh, Moni bakal telepon Tante ntar malam," ucap Monita sambil terus memperhatikan wiper mobil yang bekerja tanpa henti mengusap kaca depan. Masih ada lima mobil di depan mereka dan untungnya hari ini ibunya tidak terlalu buru-buru. Monita awalnya sudah memutuskan untuk menunggu hingga mobil tiba tepat di depan gerbang sekolah, tetapi dia berubah pikiran. Di jalur kiri, dari sisi jendela, dia mendapati cowok berkardigan abu-abu melintas mengenakan payung biru. Itu Aceng.

"Mi, Moni turun di sini aja."

"Loh?" Mamanya menjalankan mobil dengan pelan, kemudian mengerem lagi. "Mau pakai payung di belakang? Biar Mami ambilin."

Monita buru-buru menggeleng dan memasang tudung kepala dari hoodie yang sedang dia kenakan. "Nggak papa, di depan ada teman Moni bawa payung. Moni nebeng dia aja." Ibunya mengangguk dan Monita segera keluar dari mobil, menyusuli Aceng yang sudah melewati satu mobil. Dari belakang, Aceng tampak sedang berjalan santai, tapi entah kenapa Monita kepayahan mengimbanginya.

"Ceng! Aceng!" seru Monita.

Aceng menoleh dan menunggu. Dia juga tidak keberatan berbagi payung dengan Monita.

"Nggak diantar sampai depan?" tanya Aceng.

"Lama," kata Monita sambil menurunkan tudung hoodie-nya.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang