25. MELUNCUR DAN TERGELINCIR (BAGIAN 2)

64 13 9
                                    

Perayaan ulang tahun Amel lebih mirip seperti perayaan kecil-kecilan anak SMP. Mereka kumpul bersama, main bersama, kemudian ditengah-tengah muncul satu-dua teman yang membawa kue ulang tahun, acara tiup lilin dimulai, dilanjut dengan acara potong dan bagi-bagi kue, kemudian kembali lagi ke kegiatan awal. Bedanya, properti mereka lebih serius.

Di satu sisi taman, tepat di bawah lampu taman, dekat dengan tempat penitipan barang darurat, telah terpasang tiga unit meja piknik portabel. Di atasnya terhidang beberapa kotak pizza, donat, kue kering, keripik kentang, minuman bersoda, dan lain-lain. Di tengah-tengah hidangan itu, bertengger loudspeaker mini yang mengalunkan musik-musik riang bertempo santai. Ternyata benar-benar ada pesta.

Monita terhanyut dengan suka-cita yang begitu kental di sekitarnya. Pesta ini sangat berbeda dari pesta ulang tahunnya. Jumlah tamu hanya belasan, pakaian mereka tidak bertema, dan tidak ada penampilan tamu idola. Namun, kemeriahannya tidak bisa dianggap sepele. Beberapa teman Amel juga mengajaknya kenalan dengan begitu santai. Mereka bertanya bagaimana rasanya sehabis bersepatu roda tadi, berbagi beberapa trik pemula, dan mengundangnya untuk berkunjung lagi jika ada waktu senggang.

"Lo kenapa nggak ikut gabung di komunitas Amel?" tanya Monita saat dia dan Aceng melipir ke tempat penyimpanan barang untuk mengambil tas. Mereka sudah melepas semua printilan sepatu roda.

Sejak tadi, sanking terlena dengan sekitar, Monita menelantarkan ponselnya. Padahal ibunya berjanji akan menjemput paling lama pukul delapan malam, dan akan menghubungi saat hendak berangkat. Sekarang hampir setengah delapan. Sudah pasti ibunya akan mencak-mencak jika panggilannya tidak dijawab.

"Kan udah ikut Merpati Putih. Pegal-pegal nanti kalau kebanyakan gerak."

Monita tertawa kecil. Hari ini dia menemukan beberapa kesamaan antara Aceng dan Jhoni.

"Gue gabung sekali-sekali. Jadi tamu aja," lanjut Aceng. Mereka semakin dekat dengan meja saji. Di sekeliling meja itu ada beberapa bangku lipat agar tamu bisa duduk santai sambil bersantap. Monita tersenyum pada gerombolan tiga orang yang bercengkerama di sana. Seingatnya, mereka belum berkenalan.

"Pacar lo, Ceng?" Salah satu bertanya usil saat mereka mendekat. Suaranya agak rendah dan kepalanya tertutup hoodie.

Aceng berdecak. "Nol poin. Harap coba lagi."

Monita pun memutuskan memperkenalkan diri. "Halo, Kak. Saya Moni, temannya Aceng," ucapnya dengan anggukan sungkan.

Perempuan berbusana serba hitam yang duduk di seberang segera meluruskan, "Santai ... santai .... Pakai 'lo-gue' aja. Kalau 'saya-kakak' berasa jadi asisten dosen." Setelah dilihat lamat-lamat, Monita baru sadar bibir perempuan ini mengenakan lipstik ungu. Kedua matanya juga dibingkai eyeliner tebal. Penggemar band metal mungkin, pikirnya.

Si Hoodie melirik simbol sekolah di lengan kanan Monita. "Oh. Anak Raja juga," gumamnya.

Monita mengangguk meski tahu yang tadi bukan pertanyaan. Aceng yang kini bersandar di tepi meja pun menjelaskan singkat, "Mereka teman sekelas Amel dulu," sembari menyodorkan sekaleng minuman soda, entah untuk dibawa pulang atau untuk meredakan kecanggungan.

"Wah, kebetulan, nih. Felix gimana kabarnya? Masih cakep dia? Sekarang punya pacar?" Satu yang duduk di sebelah Lipstik Ungu ikut menimbrung. Rambutnya panjang terurai, dihiasi bando silver berkelip. Seketika Monita merasa pernah mengenali perawakannya.

Mendengar itu, Lipstik Ungu pun menyenggol kencang bahu Bando Silver. "Nggak usah mulai," katanya.

"Oi, kalian nggak nge-bully Monita, kan?" Amel, yang sejak Monita tinggalkan tadi sedang asyik mendiskusikan acara temu ramah bersama anggota komunitasnya, menghampiri mereka. Dia mencomot sepotong pizza dan duduk di sebelah Si Hoodie.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang