fourty eight - 6th Grade

44 3 3
                                    

Draco terbangun dari tidurnya. Keringat membasahi tubuhnya bahkan menembus piyamanya. Semenjak resmi menjadi salah satu anggota death eaters, lelaki itu jarang sekali bisa tertidur nyenyak. Meskipun pada waktu-waktu sebelumnya dia sudah susah sekali untuk tertidur.

"H-haze?" rintih Draco.

Suara pop pelan diikuti kemunculan peri rumah di kamar Draco itu sedikit membuat kengerian di dalamnya memudar.

"Ya, Tuan Muda?"

"Bawakan aku coklat panas," perintah Draco yang langsung ditutup dengan kepergian Haze.

Draco terduduk, dia meraih selimutnya lalu memeluk tubuhnya dengan di balik hangatnya kain itu. Tubuhnya gemetar, selain karena dinginnya cuaca meskipun musim dingin masih sangat lama, dia juga gemetar karena tato yang sudah dimilikinya.

Sudah hampir beberapa hari terakhir ini Draco kesulitan tidur dan selalu memanggil Haze untuk membuatkannya secangkir coklat panas. Meskipun minuman itu sudah tidak begitu membantunya untuk tertidur lebih nyenyak.

Suara ketukan di pintu terdengar. Draco menoleh ke arah pintu kamarnya itu. Siapa yang ingin memasuki kamarnya di tengah malam ini? Seharusnya Haze langsung muncul saja di kamarnya.

Seorang gadis berambut pirang pendek pun memasuki kamar, diikuti dengan peri rumah yang membawa dua buah gelas coklat panas. Kamar Draco tidak begitu gelap meskipun tidak menyalakan lampu, sinar rembulan yang menembus jendela membuat kamar lelaki itu tidak begitu menyeramkan.

"Kau boleh pergi, Haze," perintah Rose saat meraih dua gelas coklat panas dari peri rumah itu.

Rose berjalan mendekati kasur Draco lalu duduk di sampingnya. "Aku bertemu dengan Haze di dapur," jelasnya sembari menyodorkan salah satu gelas ke Draco.

Draco meraih gelas itu. Dia menyeruputnya pelan, lalu tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Sudah berapa lama kau seperti ini?" tanya Rose, membuka topik.

"Sejak dia datang."

"Kenapa tidak bilang?"

"Cuma tidak bisa tidur, kok. Tidak perlu menjadi masalah."

Rose menghela nafasnya. "Apa perlu aku memanggil Mrs. Malfoy untuk menemanimu tidur?"

"Tidak perlu." Draco menyeruput coklat panasnya. "Aku tidak ingin mengganggu tidurnya."

Rose kemudian menaruh coklat panasnya di atas meja kecil, persis di sebelah kasur lelaki itu. "Akan aku temani kalau begitu."

"Kau harus tidur, Rose. Pagi ini kita harus berangkat ke Hogwarts," ucap Draco.

"Aku tidak masalah. Akan aku temani."

Draco tersenyum tipis. Dia melepaskan selimut yang menyelimutinya sedari tadi lalu saling memberi kehangatan lewat kain itu dengan Rose. Gadis itu tersenyum tipis saat Draco memberi sedikit bagian selimutnya untuknya.

Semenjak Draco selalu diselimuti rasa takut, mau tak mau Rose harus menjadi sosok yang lebih kuat dibanding biasanya. Dia sudah tidak bisa mendapatkan perlindungan dari Draco selama tahun ke-4 dan ke-5nya, kali ini dia lah yang harus melindungannya.

Rose juga sudah merasa kedudukannya sebagai death eaters hanya akan menghancurkan hidupnya. Persetan dengan ucapan-ucapan father nya yang percaya dengan kekuatan dahsyat milik Lord Voldemort. Penyihir yang saat ini mengguncang kedamaian dunia sihir sudah membuat Rose memiliki trauma yang terdalam.

Kematian father nya akibat kesalahannya karena membuat Dumbledore mencurigainya dan juga tentang hubungannya dengan Pansy, sahabat yang sudah lama tidak bertukar kabar lewat surat.

Stuck With You - d.mWhere stories live. Discover now