Dua Puluh Delapan | Suara Sendu

12 17 0
                                    

Rinai hujan di pagi buta membuatku perlahan tersadar dari alam mimpi dan bergerak dengan langkah terantuk-antuk untuk membuka jendela, memberikan akses aliran udara segar untuk mengisi ruang kamar yang terasa pengap. Di sela-sela menghirup aroma petrikor yang mendamaikan hingga membuat beberapa helai anak rambut menari akan sepoi lemah itu, tanpa sengaja atensiku bertemu dengan sepasang netra sendu yang tengah berdiri di depan pagar rumah dalam keadaan basah kuyup.

Logikaku berkata untuk tinggal, tapi tidak dengan hatiku yang tergerak dan membuat kedua tungkaiku bergegas menghampirimu tanpa beralaskan kaki atau berteduh di bawah payung.

"Ka-kamu menghampiriku ... apa ka-kabar, Ka?" ucapmu senang walaupun vokalmu terdengar lirih dan bergetar karena kedinginan, melihatmu seperti ini membuat hatiku melemah.

Senyum merekah begitu saja membingkai labiummu begitu indah ketika aku memperhatikanmu dari ujung kepala hingga ujung kaki begitu cemas, membuat rasa sesak yang terlupa kembali menjalar di dadaku.

"Guntur ... aku mohon, jangan seperti ini, ya?" pintaku dengan vokal yang berusaha mati-matian kutahan agar tidak terisak.

"Kamu lebih percaya orang asing dari antah-berantah yang mengatakan sebuah kebohongan ketimbang aku yang udah kenal kamu jauh lebih lama, Ka?" tanyamu dengan nada kecewa lalu menatap nanar ke arahku. "Orang asing itu bukan ayahku, orang asing itu juga bukan ayahmu, dan orang asing itu hanya berambisi membuat panggung sandiwara untuk melukai hati banyak orang lagi dan lagi, Inka!"

Belum cukup sampai di situ, kamu kembali bersuara dengan vokal lantang dan penuh amarah, "Apa karena ucapan orang asing itu juga yang membuatmu memutuskan untuk pergi mewakili perusahaan dalam perencanaan dan pelaksanaan wedding art exhibition di Paris selama 2 tahun secara diam-diam tanpa sepengetahuanku?!"

"Ka ... kamu mengiyakan permintaan Mbak Irma bukan karena ambisimu melainkan ingin lari dariku, kan?" tanyamu lalu membawa daksaku yang tak kuasa menahan tangis secara perlahan ke dalam hangatnya dekapanmu. "Ka ... jangan pergi, ya? Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Jangan tinggalin aku, ya? Aku mohon."

Eccedentesiast  |  Park Gunwook ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang