3: 56. Berantakan

6 2 0
                                    

Meyjira

Seingat gue waktu itu sudah memasuki bulan februari.

Hari itu adalah hari sabtu, ketika gue diberi tahu sebuah kabar buruk.

"Ayah tiri Aurel, meninggal."

Olla berbicara dengan nada pelan ke gue, yang membuat diri ini sontak langsung menoleh ke Aurel untuk mendapatinya sedang terduduk diam di bangkunya.

Gak ada yang berani mendekat, karena mungkin Aurel juga perlu waktu untuk sendiri.

"Dari yang gue dengar, Aurel belum pernah ketemu sama ayah tirinya." Elina berbicara.

"Sedih banget. Padahal dia udah lama pengen ada sosok ayah di hidupnya." Chika menanggapi. "Orang tuanya menikah juga belum lama."

"Jadi anak broken home itu emang gak enak." Asil menghela nafas. "Tapi disisi lain, Aurel masih jauh lebih beruntung punya ayah tiri yang baik, pun ayah kandungnya masih peduli."

"Bagaimana pun, Aurel pasti gak pernah meminta untuk berada di posisi ini." gue ngomong.

....

Kemudian, waktu itu adalah hari ketiga pemakaman, dimana gue sama teman-teman yang lain senantiasa datang ke rumah Aurel untuk menemaninya melakukan pengajian untuk almarhum ayah tirinya.

Aurel memang pendiam, tetapi beberapa hari itu dia jauh lebih pendiam.

Gue mengerti rasa kehilangan yang sedang dia rasakan, gue mencoba untuk memahami bagaimana dia menerima kehidupannya.

Gue mencoba menjadi sahabat yang selalu ada untuk dia.

Kemudian sampai hari itu tiba. Hari ketika gue menyadari selama gue fokus pada kedukaan yang dirasakan Aurel, gue jadi jarang melihat Nafar di sekolah.

Nafar tidak mengirimi gue chat, atau bahkan menelpon.

Gue jadi bertanya-tanya, kenapa.

Gue terus mempertanyakan keberadaan Nafar, tanpa berniat mengiriminya chat lebih dahulu.

Lalu ketika Aurel berbicara soal Nafar,

gue,

gue....

Gue gak tahu harus bersikap apa. Bagaimana.

"Hari senin, ketika hari pemakaman ayah tiri gue. Nafar membantu prosesnya." Aurel berbicara, senyumnya terlihat mengembang pelan. "Seragam putih abu-abunya sampai kotor penuh lumpur dan tanah."

Gue bingung.

"Gue yakin Nafar hari itu memang sengaja bolos untuk ke sini."

Gue,

Perasaan sedih, kalut, cemas, dan kecewa.

Tepatnya, gue gak tau apa perasaan gue saat itu.

Semua campur aduk.

Berantakan.

"Ra...." Aurel lalu menatap gue ketika berbicara. Tatapannya serius. "Seharusnya gue ngasih tahu lo hal ini sejak awal...."

Gak.

Gue gak siap.

Apapun itu, semoga,

"Gue emang masih suka ke Nafar, Ra."

Gue takut.

"Selama ini gue berusaha menepisnya." Aurel masih berbicara, tapi ucapannya terdengar sedih. "Berkali-kali gue berusaha merelakan Nafar buat lo, sahabat gue."

Gak.

Nafar punya gue.

"Tapi kemarin, gue melihat ada ketulusan dari Nafar." Aurel menghela nafas. "Maaf. Tapi, kayaknya gue masih....."

KaleidoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang