"Jika kita sama, nyatanya mereka memandang berbeda."
.
.
.
.
🦊🦊Semua manusia terlahir dengan diri mereka sendiri yang berbeda. Tidak akan pernah sama kecuali lahir dan mati hanya membawa jiwa dan raganya.
Pukul 1 siang, netra pekat pemuda itu mulai mengerjap. Terbangun dari tidur panjangnya dengan segera. Melirik sejenak pada jam di nakas, tapi yang dia temukan nampan berisikan makanan. Nampak baru karena masih ada uap panas dari sup di mangkok.
Perlahan, dia bangkit. Merubah posisinya menjadi duduk. Melamun beberapa saat agar lebih sadar akan dirinya. Perlahan dia teralihkan, ponselnya yang tergeletak di dekatnya. Segara dia meraihnya, melihat ada banyak pesan, tapi dia bahkan.
Segera Tara bangkit, turun dari ranjang. Pergi ke kamar mandi membawa ponsel nya. Dia mengisi bathtub dengan air hangat, selagi menunggu duduk dia atas closed yang tertutup. Bermain ponselnya sejenak. Mencari nomor yang sudah tertimbun oleh puluhan chat masuk.
Segara dia menghubungi nya. Menunggu beberapa saat hingga sambungan diterima.
"Akhirnya Lo telfon, gua khawatir banget Lo enggak ngabari."
"Sorry, gua tidur terus. Ini baru bangun," balasnya. Melirik pada air yang mengalir derasnya.
"Gimana keadaan Lo?" Sangga di sana bertanya. Selalu hal yang sama saat mereka saling menghubungi.
"Udah oke, besok mungkin masuk sekolah lagi."
"Gua denger dari Felly, Lo sempat ke hantam bola kan? Sampai mimisan, itu gimana?"
Tara diam sejenak, mengingat kejadian itu. Membuat dia menghela nafas. "Awalnya gapapa, tapi Nalen berulah. Jadilah gua mimisan, sampai gak sadar apa-apa. Tau-tau udah di rumah sakit periksa kepala."
"Apa kata dokternya?" Tanya pemuda itu mendesak. Terdengar jelas dia khawatir.
"Gak ada apa-apa, aman kok. Cuma gua terlalu banyak pikiran aja."
"Bin.. udah gua bilang kan. Jangan di pendam sendiri." Eluh Sangga resah.
"Sama siapa, Mi?" Tanya Tara lirih. "Dirumah ini enggak ada yang percaya omongan gua, padahal gua sendiri yang rasain."
"Ya gua Bin," balas Sangga cepat. "Setidaknya enggak ada yang Lo pendam. Sesuai yang Lo bilang kalau udah enggak peduli sama mereka kan? Oke, jangan di pikir merekanya. Apa yang Lo pikir bisa cerita ke gua. Gua bisa bantu, gua usahain."
Tara diam, nampak merenung. Sesaat dia menarik nafasnya dalam dengan pandangan kosong. "Nalen jabut jabatan OSIS gua," lirihnya.
Terdengar Sangga disana berseru. "Udah enggak ngotak itu anak!" Jelas dia marah, tau perjuangan Tara selama ini.
"Apa lagi yang dia lakuin?" Desaknya.
Tara tersenyum masam. Melihat ke arah tangannya sejenak. Segala hal yang dia lakukan. Akan mulai hilang.
"Les gua di jabut, enggak ada lagi lomba dan sebagiannya. Cuma sekolah sama ikut bantu kantor."
"Bener-bener.." Sangga geram sekali.
"Gua udah pasrah Mi, terserah mereka mau apa aja. Sampai gua mati pun mereka tetap tuli sama mau gua kayak apa." Kekehnya rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHARMOLIPI [χαρμολύπη] || END✓
RandomJika dirinya Bintang, Dia adalah Bulan. Jika dirinya Kakak, Dia adalah Adik. Lantas, kenapa sosok adiknya sangat berkuasa? ** Tara, begitulah orang memanggilnya. Ketua OSIS yang di kenal tegas, dingin, dan galak. Sosok yang disegani, bahkan dikagumi...