🌟XIII

6.1K 572 24
                                    

"Belajar memahami, arti sebuah menghargai."
.
.
.
.
🦊🦊

Sakit hati yang paling sulit di ungkapkan adalah sakit hati seorang anak kepada orang tuanya. Karena, saat mengatakannya dunia memandang sebagai anak yang durhaka.

Nyatanya, orang tua harus lebih mengerti. Kesalahan apa yang mereka lakukan, hingga membawa luka menjadi sikap yang salah yang di tunjukkan.

"Gua mau ikut."

Pemuda yang sudah siap untuk pergi menghentikan langkahnya saat mengambil kunci mobil. Berbalik, menatap dengan cepat sosok yang berdiri di dekat pintu kamar.

"Bilang lagi," katanya karena tidak yakin.

"Gua mau ikut," kata pemuda pirang itu kembali. Menatap kelam sosok tersebut.

Cepat-cepat Nalen mendekat, melihat dari dekat netra Kakaknya. Adakah keyakinan di sana, membuat dia sesaat menghela nafas. Dia sudah siap akan pergi. Mengejutkan akan keputusan Tara yang tiba-tiba. Membuat dia merasa tidak yakin pergi.

"Duduk dulu," katanya cepat.

Nalen menarik lembut Tara pada ranjang. Dia duduk lebih dulu, karena Tara tak mau kunjung duduk, dia menarik ke pangkuannya. Duduk di paha kirinya dengan berat. Sedangkan tangan kirinya memeluk pinggang pemuda itu agar tidak terjatuh.

"Gua enggak mau Lo merasa tertekan atau terpaksa. Jujur kalau Lo masih berat, gapapa. Nanti gua suruh Daniel ke sini temenin Lo," katanya penuh pengertian. Meyakinkan hati Tara agar menentukan apa sejujurnya yang dia mau.

Netra pemuda itu memandang rumit. Jujur, bagaimana dia tidak resah. Hanya, rasa sakit hatinya masih begitu pekat. Dia belum begitu siap. Akan tetapi takut, sesuatu yang tidak pernah bisa dia kendalikan nanti.

"Gua enggak tau, tapi rasanya resah." Ungkapnya jujur.

"Gua takut kalau seandainya," diam. Dia tidak melanjutkannya.

Tidak bisa secara terbuka mengatakan dengan jelas apa yang ada di hatinya. Tenangnya hanya sebuah tenang semata.

Tara menjatuhkan keningnya pada pundak kiri Nalen. Tidak mengatakan apapun, membuat Nalen memandang rumit. Tapi tidak berkata, hanya menekan lembut tengkuk pemuda itu.

Sesaat dia langsung diam. Meraba tengkuk Tara dengan beberapa kali. Lalu tangan kanannya menyentuh pipi pemuda itu. Sedikit hangat yang dia rasakan.

"Bangun dulu, Lo demam. Lo harus minum obat," katanya meminta Tara mengangkat kepalanya.

Namun di balas gelengan. Membuat Nalen menghela nafas kecil. Seperti ini, bagaimana dia bisa pergi.

"Ayo, gua enggak jadi pergi. Enggak usah kuliah lagi hari ini. Lo butuh istirahat lebih."

"Enggak," balas Tara cepat. Langsung mengangkat kepalanya, menatap dengan dalam.

"Lo demam, gimana gua bisa pergi?" Tanya Nalen lembut. "Mama Papa disana banyak yang jagain, di sini Lo sendirian. Enggak mungkin gua tinggalin Lo." Tangan besarnya membelai poni Tara ke belakang. Sekalian mengecek suhu tubuh pemuda itu.

Hanya demam ringan, tapi dia tetap khawatir.

"Gua ikut," kata Tara lirih. Menunduk setelahnya. Tangan kirinya mencengkeram jaket yang Nalen kenakan. Seperti anak kecil yang enggan di tinggal pergi bekerja ayahnya.

CHARMOLIPI [χαρμολύπη] || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang