I LOVE YOU 1.0

1K 61 3
                                    

Z I A N

"Lo kenapa, tong? Senyam-senyum" tatapan Rika tertuju pada Horman dengan alis berkerut.

Horman menaikkan pandangan, "Gak tau juga. Kata mama ini cinta" Katanya polos, masih mempertahankan senyumannya.

"Ya Allah Horman! ternyata kamu normal, nak!" Ucap Rika histeris lalu menepuk bahuku. Horman terperanjat, lalu menoleh saat aku menoleh padanya juga.

"Apaan?" Tanyaku lalu kembali menggambar wajah Mecca di atas kanvas. Aku berniat melukis wajahnya,lalu memberikannya pada Mecca.

"Lo kan pakar cinta, Zi.." Ucap Rika dengan mata berbinar. "Horman jatuh cinta!"

Aku terdiam, mencerna kata-kata Rika. Setelah itu, aku menjatuhkan pensil di genggamanku lalu melongo menatap Horman.

"Lo serius?!"

Horman mengangguk malu-malu. "Tadi pagi kasurku basah." Katanya, membuatku geli setengah mampus.

"ish! Apaan sih lo!" Rika melempar pensil ke wajah Horman, "Lo suka sama siapa?"

Horman menggeleng, "Sama salah satu penghuni perpus. Aku gak tau namanya."

"Bantuin aku, Zi." Ucapnya setelah kami masih mencerna kata-kata Horman. Aku mengerjap, "Bantu apa?"

"Aku pengen deket sama dia" Ucapnya lalu tersenyum kearahku. "Bantuin aku buat surat cinta"

Aku tertawa geli. Horman..Horman. Aku menggelengkan kepala saking herannya, sementara Rika sudah terkikik kegirangan.

"Lo masih inget wajahnya?" Ucapku saat mengambil secarik kertas serta menggenggam pulpen, bersiap untuk menulis.

Horman mengangguk, "Dia cantik. Suka komik."

.

M O U R S H A

Aku mengerutkan dahi ketika mendengar ketukan pintu depan. Dengan langkah malas, aku berjalan ke ruang depan, berniat memaki siapa saja yang datang mengganggu tidur siangku.

Ketika aku membuka pintu, aku sedikit terperanjat melihat tangan yang menggantung di udara.

"Eh. Udah di bukain ternyata" Ucapnya saat menaikkan pandangan, menyengir.

Aku melengos, berbalik meninggalkan Zian di ambang pintu. "Ada apa kak?"

Aku menyadari dia mengikutiku dari belakang, "Kan sekarang jadwal kita privat" Katanya polos.

Saat berada di tengah ruangan, aku berbalik dengan alis menukik, "Aku gak mau!"

"Apa perlu, aku telfon Dava?"

Cengiran gantengnya pengen gue tabok rasanya. "Ya!. Tapi kali ini aja ya?"

Dia menggeleng, "lima kali"

"Dua kali"

"Lima kali"

"Tiga kali atau gak sama sekali"

"Lima kali atau gue telfon Dava"

Aku mendengus, "Kenapa sih kakak pengen banget ngajarin aku?". Tatapanku menyelidik, tapi aku rasa dia tidak mungkin punya niat jahat. Dia anak orang kaya, ganteng,tinggi, putih, yang jelas tidam punya codet di wajahnya.

"Karena gue di bayar." Katanya, polos.

Apa?

"Di bayar sama siapa? Dava? Emang Dava punya uang buat bayar kakak?"

"Menurut lo dia ke Bali pakai apa? Masak iya kantongnya bolong dia nekad ke Bali."

Aku terdiam, tidak ada argumen untuk membantahnya. "Yaudah ayok!" Ajakku seraya melangkah ke luar ruangan.

I LOVE YOUWhere stories live. Discover now