I can tote you!

18.9K 1.1K 431
                                    

Chapter 9 | Sayang, hati botty itu kayak selaput perawan di dalam pepek, mudah robek dan terluka. Sedangkan hati top itu kayak sperma yang baru muncrat dari kontol, cepat kering dan bau busuk. -- kata Zavan untuk Zedd di hari ketiga mereka menjadi fuck buddy.


Seharusnya gue minta maaf ke Variant sekarang. Variant itu botty, hatinya mudah terluka.

Tapi, gue nggak melakukannya. Gue mengedikkan bahu dan melangkah pelan di tangga. Variant sudah lari masuk ke kamarnya sambil banting pintu keras-keras. Gue tahu gue sudah menyakiti hatinya. Gue juga sudah menendangnya. Lalu membuat kucing jelek kesayangannya sakit. In the end, gue juga sakit hati pas Variant bilang kalau nggak butuh pertolongan gue. Nggak mau gue lindungi lagi. Seolah-olah apa yang selama ini gue lakukan buat dia itu percuma.

Actually, melindungi Variant itu sudah seperti kebiasaan untuk gue. Waktu kami mau masuk SD dulu, Mommy dan Daddy memegang pundak gue dan berkata. "Zedd, kamu harus lindungi adek kamu, jangan sampe dia nangis dan diejek sama anak-anak yang lain."

Gue nggak ngerti apa maksud Mommy dan Daddy waktu itu. Tapi gue tetap melakukannya. Gue selalu duduk di sebelah dia, pergi ke kantin sama dia. Harus tahan dekat-dekat sama teman cewek-ceweknya. Pas kami kelas dua SD, kami pisah kelas. Dia di A dan gue di B. Di situlah gue ngerti kenapa Mommy dan Daddy nyuruh gue melindungi dia. Variant selalu diejek banci sama kakak kelas tiga atau kelas empat. Juga sama teman-teman sekelasnya. Variant lebih suka kumpul sama cewek-cewek, main boneka dan tukaran isi binder.

Dia selalu nangis kalau ada orang yang melorotin celananya dia. Atau nggak ada yang mau satu kelompok sama dia di pelajaran olahraga. Gue pun menjalankan tugas gue sebagai kakak. Bantu dia, melindungi dia, mukul semua orang yang ngejek dia banci. Mungkin Mommy memang sudah tahu kalau Variant itu sedikit berbeda dari gue. Mommy pernah ngelihat Variant pakek lipstik-nya pas kami TK dulu. Variant juga sering main rumah-rumahan sama tetangga kami, dan dia yang jadi istri sedangkan temannya yang cewek jadi suami. Mereka main tea party dan Variant minjam gaun temannya itu.

Itu sebabnya gue selalu refleks untuk nolongin dia. Melindungi dia meski gue ngomong kasar dan bilang benci. Gue nggak ngasih tahu Variant kenapa gue selalu melindungi dia padahal dia nggak minta karena gue nggak mau dia ngerasa berbeda. Merasa Mommy dan Daddy nggak percaya sama dirinya untuk melindungi diri sendiri. Gue nggak mau bilang Mommy dan Daddy benar, tapi Variant memang terlalu lemah untuk stand up buat dirinya sendiri. Dia selalu nangis kalau ada yang hina dia. Selalu mengurung diri kalau ada yang terang-terangan benci dia.

Gue hanya ingin Variant kuat. Like me. Like Daddy. Like Om Robi.

Entah kenapa semua orang selalu memandang apa yang gue lakukan itu salah. Padahal gue melakukan itu semua untuk mereka. Di SMP dulu gue punya dua sahabat cewek dan satu sahabat cowok. Setiap sahabat-sahabat cewek gue cerita kalau dia disakitin, gue selalu nyoba untuk melindungi mereka. Memukul cowok-cowok itu dan memberi mereka peringatan supaya cowok-cowok itu minta maaf karena sudah membuat sahabat gue menangis.

Yang gue dapat dari sahabat-sahabat cewek gue malah makian.

"Lo jangan ngurusin gue, ya! Lo tuh kurang ajar tau nggak! Gue nggak perlu bantuan lo, lo itu bukan siapa-siapa gue. Back off!"

Bukan siapa-siapa. Bukan sahabat. Gue selalu bukan siapa-siapa untuk orang lain. Semua hal yang gue lakukan selalu salah. Persis seperti yang Variant bilang. Padahal gue ingin mereka merasa aman, ingin memberitahu mereka kalau gue ada untuk mereka apapun yang terjadi. Nggak peduli bahaya apa yang akan gue hadapi karena menjaga mereka.

I'm just an asshole. Itu yang mereka pikirkan. So be it. I'm so tired. Semuanya useless.

Di mata mereka gue hanya orang kasar dan nggak pantas dijadikan teman. Mommy dan Daddy bahkan ngecap gue anak yang suka nyusahin. Nggak kayak Ella dan Variant yang nurut.

Another Twin Story [Zedd]Onde histórias criam vida. Descubra agora