=1=

414 21 3
                                    

Pandangan cowok itu terus saja terpaku pada pasangan yang tengah memadu kasih di taman, melihatnya membuatnya antara jengkel, jengah, dan iri. Ia menggigit bibirnya sembari menaikkan salah satu ujung bibirnya dengan gaya meremehkan. Kalau ditafsir, dua sejoli itu berusia tak jauh darinya, bahkan mungkin saja sama. Sementara, dirinya? Sudah berusia 18 tahun, tapi belum pernah jatuh cinta pada perempuan. Apa yang salah dengan dirinya??

Mark menunduk memandangi paving di depannya, sedangkan otaknya berpikir keras. Tiga cewek telah mendatangi dan menyatakan perasaannya pada Mark, dan cowok itu langsung menolaknya mentah-mentah tanpa memprosesnya terlebih dahulu di otaknya. Sekarang ia menyesal, menyesal karena belum sempat merasakan yang namanya pacaran. Masa sekolahnya akan segera berakhir tahun depan, jadi setahun ini ia harus bisa mendapatkan perempuan. Paling tidak ia sudah berhasil membuat statusnya menjadi "pernah berpacaran", bukan selamanya jomblo...

***

"Mark harus ikut pindah?? Bukannya ini tahun terakhir Mark di SMA? Kan tanggung kalau harus pindah sekolah, padahal tinggal satu tahun, lho!" seru cowok itu pada suatu malam ketika tengah makan malam bersama orangtuanya. Tiba-tiba saja makan malam yang terhidang di hadapannya sudah tak menggoda seleranya lagi.

Sang ayah menatap Mark dengan sabar, sudah biasa menghadapi tingkah anak tunggalnya ini. "Keluarga kita harus terus bersatu, jadi Papa harap kamu mau ikut pindah ke Surabaya. Kan Papa harus kerja di sana..."

"Tapi, Pa, Mark sudah betah tinggal di sini, apalagi teman-temannya Mark sudah banyak. Kalau pindah berarti Mark harus nyari teman lagi," keluh cowok itu dengan alis berkerut-kerut, ia sudah tak menyentuh makanannya sama sekali.

Kali ini ibunya angkat bicara, "Mau bagaimana lagi, Mark. Papamu ya juga menyesuaikan diri, kan? Kamu pun ya harus begitu."

"Ah, terserah deh, Mark ngikut aja!" sela Mark dengan kesal, ia lekas membawa piringnya yang masih tersisa setengah menuju kamar.

"Mark," ucap ayahnya masih dengan nada rendah. Namun Mark sudah tak mengindahkannya lagi...

***

Dan di sinilah ia sekarang, pada akhirnya ia tetap terdampar di sekolah elite ini. Sekolah yang memiliki makna lurus, yang mungkin saja semua muridnya hidup lurus dan bertolak belakang dengannya. Yah, welcome to the new world!! Dengan ogah-ogahan Mark lekas memasang headphonenya dan menyetel lagu keras-keras barulah melangkah menuju kelasnya di lantai tiga...

Seseorang menjawil bahunya sehingga Mark melepas headphonenya dan menatap dengan sebelah alis dinaikkan, mengisyaratkan agar orang tersebut segera bicara. "Hai, murid baru, ya? Namaku Mike, kamu?"

Mark menoleh sekilas pada tangan Mike yang diarahkan padanya mengajak bersalaman, tapi ia malas menyambut tangan itu. Entahlah, rasanya orang itu tak selevel dengannya. "Mark. Iya, aku murid baru, sudah jelas, kan??"

Mike terlihat salah tingkah, ia menarik tangannya dan mengusap rambutnya yang agak berantakan. "Ah, ya, jelas kamu anak baru. Salam kenal, ya!" ujarnya riang dengan maksud menutupi rasa malunya.

Yang diajak bicara mengulas senyum dengan terpaksa dan sedikit mendengus, mau tak mau Mike duduk kembali ke tempatnya yang ternyata tepat di samping bangku Mark. Melihat itu Mark menguatkan dirinya, hari ini akan jadi hari yang panjang dan melelahkan...

Ketika jam pelajaran dimulai, seorang cewek manis dengan rambut diurai dan poni dijepit maju ke depan dan mulai membacakan sesuatu. Tata tertib di SMA Straight Lines rupanya. Namun semua itu hanya berseliweran di telinga Mark kemudian pergi, sejujurnya ia tak peduli semua tetek bengek membosankan itu. Masa bodoh apabila ia dikeluarkan dari sekolah ini, toh dari awal ia sudah sangat benci dimasukkan ke sini oleh ayah ibunya.

Mike sekonyong-konyong menyenggol lengan Mark dan mulai berbisik ketika Mark menoleh sepintas, "Itu Karin, ketua kelas kita. Dia cantik dan manis, kan? Banyak cowok di sekolah kita naksir dia, lho..."

"Biasa saja tuh, mbak-mbak penjual jamu gendong dekat rumahku masih lebih cantik!" balas Mark dengan sarkastis tinggi.

Teman barunya ini malah tertawa dan memukul bahunya dengan keras, membuat Mark melotot ingin menjitaknya. "Selera humormu sangat bagus, bro!" puji Mike dengan penuh humor. "Kamu pernah pacaran??" tanyanya kemudian.

Mark mengerutkan dahinya dengan topik pembicaraan Mike yang berubah, tapi ia tetap menjawabnya. "Belum, kenapa emangnya?"

"Kalau seusia kamu belum pernah pacaran, biasanya dikira orang lain kamu itu gay," jawab Mike tanpa berpikir dahulu.

"Enak saja!! Aku normal, bro!" balas Mark dengan gaya yang dipakai Mike tadi.

Cowok berwajah ceria itu terkikik dan merespon dengan nada rendah, "Di SMA ini, banyak juga kok murid homo. Anak kelas sebelah, Locky dan Evan itu pasangan gay. Terus Pak Jack dan Rick juga baru jadian, masih banyak lagi lho orang-orang homoseksual di sini. Padahal nama sekolah ini Straight Lines, tapi nyatanya nggak selurus yang dibayangkan masyarakat awam..."

Astaga, apa semua itu penting diceritakan padaku?? Keadaan sekolah ini normal saja aku sudah malas setengah mati masuk, apalagi kalau keadaannya kaya gini. Huft...

============================================================



Setelah sekian lama nggak post cerita, akhirnya aku bisa post lagi... :)

kangen banget nge post cerita, berhubung akhir-akhir ini sibuk kuliah jadinya baru bisa post lagi sekarang. hehe ;P

Semoga kalian suka ceritanya ya,, tinggalkan vote dan komentar apabila kalian suka...

Dengan senang hati aku menunggu... <3



No One Can Hide from LoveWhere stories live. Discover now