=2=

198 17 1
                                    


Bel istirahat berbunyi tiga kali, semua murid menghambur keluar kelas. Ada segerombolan siswi lekas keluar dengan menggenggam dompet, ada juga beberapa cowok yang tampak slebor pergi sambil memantul-mantulkan bola basket menuju lapangan, dan masih banyak lagi tingkah-polah para murid hanya untuk meninggalkan kelas. Berbeda dengan mereka semua, Mark melangkah menuju depan kelas dengan santai dan anggun. Saat ini ia malas makan bekal yang sudah disiapkan ibunya. Toh saat istirahat kedua atau pulang sekolah kan ia bisa memakannya.

Di depan kelas ia menengok semua sisi, pemandangan di sana sama saja membosankannya. Dari atas sini, dengan bersandar pada kedua tangannya, ia dapat mengamati dua siswi sedang duduk di tangga sambil mengobrol ria, kemudian beberapa cowok yang main basket dengan asyiknya sampai-sampai seragam mereka basah kuyup―padahal istirahat baru saja dimulai―lalu segerombolan murid cewek dengan satu cowok feminin yang saling ngerumpi. Mark mengembuskan napas malas dan berbalik membelakangi semua pemandangan itu. Dan tiba-tiba matanya bersiborok dengan mata cowok berkacamata dari kelas sebelah.

Karena cowok culun itu terus menatap matanya dengan malu-malu, Mark balas memperhatikannya. Sejujurnya cowok pindahan itu benci diperhatikan orang lain, apalagi kalau menjadi pusat perhatian. Yah, kalau dia terus memandangnya seperti itu sekalian saja dibalas terang-terangan. Mereka pun terus berpandang-pandangan sampai beberapa menit. Mark menatap dengan matanya yang tajam dan lekat, sementara si cowok culun itu membalasnya dengan takut-takut. Tak terasa mereka menghabiskan waktu dengan saling memandang hingga jam istirahat pertama berakhir. Bagi Mark, ini adalah kali pertama ia menghabiskan jam istirahat dengan hal bodoh seperti ini. Sungguh hal bodoh....

.

.

.

"Jadi anak-anak, pada zaman dulu nenek moyang semenjak masih berburu dan bercocok tanam sudah menggunakan seni dan bahasa. Bla bla bla..."

Mark tidak mendengar penjelasan Pak Dwi yang selanjutnya, semua perkataan guru sejarahnya itu hanya bagaikan latar belakang yang mengalir begitu saja tanpa makna apapun. Cowok yang sudah menjalani hidupnya selama 18 tahun itu menguap bosan dan melihat arlojinya. Pukul 13.55, lima menit lagi dia bisa pulang dan kembali ke rumah. Lebih baik berada di rumah dan mengunci diri di kamar lalu tidur daripada berada di sekolah ini, yang menurutnya malah membuang-buang waktu.

"Ck! Pelajaran di sini pakai sihir apaan, sih? Kenapa satu jam pelajaran terasa seperti tiga jam penuh??!" sungut Mark dalam hati.

Untung bel pulang berbunyi juga, sehingga Mark tidak membusuk di kelas. Usai doa, ia pun menyambar tas punggungnya yang sedari tadi sudah beres karena ia memang tidak mengeluarkan sebuah buku dan bolpen pun barulah keluar kelas.

Bruk! Beberapa buku tebal jatuh sehingga mau tak mau Mark memungut buku-buku tersebut bersamaan dengan cowok lain. Setelah semua terkumpul, cowok cuek itu menyerahkan tiga buku ensiklopedia pada empunya.

"Maaf, aku nggak sengaja nabrak tadi." Mark langsung mengenali kacamata bulat nan besar itu, ia mengernyitkan kening. "Hei, kamu cowok dari kelas sebelah, kan? Yang, uhuk, ngelihatin aku dari tadi." Ia menambahkan dengan canggung.

Mark yang sejak lahir judes dan cuek saja cukup canggung, apalagi cowok berkacamata dengan ensiklopedia tebal dipelukannya―sejak dulu ia hanya berpelukan dengan buku, bukannya kekasih―ia pun menyentuh leher dengan gugup. Sejurus kemudian cowok imut itu mengulurkan tangan dan tersenyum tulus, "Namaku Monte Carlo, panggil saja aku Carlo. Aku tahu namaku terdengar konyol, tapi ini nama pemberian mamaku dan aku harus menghargai itu. Hehehe."

Refleks Mark tertawa kecil sembari mendengus tanpa membalas uluran tangan cowok yang bernama sama dengan nama kota tersebut. "Untuk ukuran cowok pemalu, kamu lumayan banyak bicara." Karena Carlo tak menurunkan tangannya juga, akhirnya Mark balas menjabatnya. "Aku Mark."

Suasana kembali canggung. Mark hanya diam mengamati sekitar yang cukup ramai, karena mereka berada di pintu keluar kelas XII A2. Sementara Carlo menggigit bibirnya dan membetulkan kacamatanya yang mulai melorot. Setelah sadar diri, mereka pun menyingkir dari pintu keluar.

Tiba-tiba Mark kembali menatap Carlo, ia memasang raut wajah penasaran. "Tadi saat istirahat pertama, kenapa kamu terus melihatiku?"

Carlo tertawa kikuk dan kembali membalas pandangan Mark dengan gugup, "Ah, itu... umm, aku... begitulah..."

"Begitulah apa??" tuntut Mark tidak sabar, membuat Carlo makin salah tingkah.

"Ummm..." Carlo bingung harus menjawab apa sehingga ia tidak punya pilihan selain berlari secepat kilat dengan buku yang mungkin beratnya sampai berton-ton menurut Mark. Cowok bermata coklat gelap itu tercengang sejenak sampai Carlo hilang di belokan menuju tangga.

"Dasar aneh," cibir Mark seraya mengangkat bahu tidak peduli dan melangkah pergi.

=================================================================================================


No One Can Hide from LoveWhere stories live. Discover now