=6=

87 6 0
                                    

Semenjak Mark menolong Karin tempo hari, mereka jadi lebih dekat. Atau dapat dikatakan Karin yang mendekatkan dirinya dengan cowok itu. Bagi Karin, Mark sangat menarik. Sosoknya yang cuek, yang menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik dengan cewek itu, malah membuat Karin penasaran. Baru kali ini dia menemui cowok se-cool Mark, berbeda dengan cowok lainnya yang selalu memperlakukannya bak putri raja. Dia sangat suka Mark yang selalu mendengus padanya, mengaduh kesakitan ketika ia mencubitnya, mendelik padanya karena ia juga suka mengagetkannya seperti Mike, tertawa meremehkan, dan sebagainya.

Karin dapat menyimpulkan satu hal, dia menyukai Mark.

Ini adalah kali pertama dia menyukai seorang cowok selama SMA, kali terakhir dia menyukai cowok adalah saat SMP ketika dia mulai berpacaran. Dan sejak putus, dia tidak ingin menyukai cowok lagi. Tapi sepertinya Mark berbeda...

"Mark, ke kantin, yuk!" ajak si ketua kelas pada Mark yang tengah menyumpal telinganya dengan earphone.

Cowok tersebut tentu saja tidak dengar, atau pura-pura tidak dengar menurut Karin. "Hei, kamu pasti pura-pura tidak dengar!" gerutunya seraya mencubit lengan Mark.

"Ouch! Harus ya pakai nyubit??!! Kamu tahu nggak kalau badanku lebam semua gara-gara cubitanmu?? Hampir setiap hari kamu mencubitku!" sembur Mark, ia langsung melepas sebelah earphone-nya

Karin menggembungkan pipinya, "Habisnya kamu pura-pura nggak dengar, sih! Ayo ke kantin..."

"Mentang-mentang ketua kelas, terus kamu bisa menyuruh-nyuruhku, begitu?" sindir Mark tajam.

Karin yang telah terbiasa dan malah menyukai Mark yang blak-blakan dan sinis justru tertawa senang, "Iyalah, mumpung aku jadi ketua kelas aku harus memanfaatkan posisi ini dengan baik. Sekarang aku memerintahmu untuk menemaniku ke kantin!"

"Dasar penyalahgunaan jabatan!" cibir Mark, tetapi ia tetap bangkit berdiri dari kursinya dan melangkah mendahului Karin.

Sebelum meninggalkan area kelas XII, ia menengok depan kelas Carlo. Cowok itu tidak terlihat, pasti dia berada di dalam kelas. Mana mungkin Carlo ke kantin...

.

.

.

Pulang sekolah, Mark tidak langsung pulang ke rumah, ia terlebih dahulu mengendarai motornya ke suatu tempat. Semenjak tiba di Surabaya, dia mencari suatu tempat untuk menjernihkan pikiran selama beberapa hari dan menemukan tempat ini. Sebuah stasiun kecil yang terdapat di dalam perkampungan, stasiun ini sepi dan terpencil, meski begitu masih terdapat beberapa orang yang naik kereta dari sini. Baginya rel kereta di sini sangat bagus, tenang dan terisolasi dari keramaian. Sangat lucu. Kalau benar-benar putus asa, tempat ini sangat bagus. Karena ada dua kemungkinan yang didapat dari tempat ini, yaitu pikiran yang segar atau pikiran yang makin kacau sehingga akhirnya memutuskan untuk menabrakkan diri pada kereta yang lewat. Sungguh, tempat ini keren karena batas antara kehidupan dan kematian sangat tipis di sini.

Cowok itu memasang earphone yang tertempel pada ponselnya dan memandang ke langit yang sedikit menyilaukan. Ia menghirup napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, berusaha melakukan relaksasi agar perasaannya membaik. Dari luar cowok itu memang terlihat biasa-biasa saja, namun sebenarnya ia merasa 'rusak'. Bukan rusak dalam artian parah, hanya saja Mark sungguh merasa tidak baik-baik saja. Kemudian dia membaringkan tubuh pada lapisan semen dan meresap dalam-dalam panas yang terdapat di batu tersebut. Rasa hangat yang menjalar melewati jaket dan seragamnya langsung menyentuh punggungnya dan ia menyukai sensasi tersebut.

Sebenarnya Mark merasa capek, ia merasa capek dengan dirinya. Ia sengaja bersikap galak dan sinis pada semua orang karena lelah pada semua yang terjadi pada dirinya. Bahkan, Mark tidak dapat menjelaskan dengan detail apa yang sebenarnya ia risaukan.

Angin sepoi-sepoi membuat dirinya jadi rileks, dan tanpa sadar dia tertidur...

***

Wajah manis nan ceria itu muncul di depannya, dia tertawa menatap Mark dan menarik-narik tangan Mark agar cowok itu mengikutinya. Cowok itu hanya mengekor dan tersenyum mengamati cewek mungil di depannya berlari-lari dengan ceria.

"Mark, ikut deh, ada pasar malam dekat sini! Ayo temani aku naik lingkaran raksasa!" serunya dengan muka berseri-seri.

Mark tertawa terbahak, "Namanya bianglala, Maddie." Koreksinya pada sahabat kecilnya.

Temannya itu menoleh belakang dan menjulurkan lidah, "Ih, biarin! Orang bentuknya lingkaran dan besar!!"sewot cewek itu.

Kemudian setting tempatnya berubah, tiba-tiba saja cowok itu telah berada di SMP Saint Mary. Ia tengah menuju kelas VII-B, kelasnya Madeline. Cowok itu membawa kotak bekalnya berhubung hari ini dia membawa brownies dan Madeline sangat menyukai brownies.

"Eh, Madeline, kamu sama Mark itu pacaran, ya?" tanya Silvy yang duduk di depan Madeline.

Mark yang hendak masuk kelas tersebut berhenti, dia memasang telinga agar dapat mendengar lebih jelas.

Madeline tertawa dengan renyah, "Hah? Pacaran?? Kok bisa kamu mikir kami pacaran??"

"Kalian keliatan deket soalnya, lagian dia perhatian banget sama kamu. Keliatannya dia suka sama kamu deh."

"Ih, cowok kayak gitu suka sama aku?? Nggak mungkin deh! Asal kamu tahu, selama ini aku sebenernya males deket-deket sama dia. Saking aja dia selalu bantuin aku belajar, terus dia juga suka beliin aku ini itu. Yah, mumpung ada yang bisa dimanfaatin, kenapa nggak aku manfaatin aja??" Madeline membalas tanpa perasaan.

"Ya ampun, kamu kejem banget, Mad!!"timpal Silvy.

Tubuh Mark bergerak sendiri, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depan meja Madeline. Cewek itu dan temannya memandangnya dengan ngeri, mengira Mark akan mengamuk dan berbuat kasar pada mereka.

Nyatanya Mark meletakkan kotak bekal birunya di meja Madeline.

"Ini adalah kali terakhir aku mengganggumu. Maaf ya, selama ini aku selalu membuatmu merasa tidak nyaman." Selanjutnya cowok itu mengangkat kakinya dari kelas VII-B.

"Mark, tunggu!" panggil Madeline, tapi Mark sudah tidak peduli.

.

.

.

Tiba-tiba cowok itu terbangun, ia merasakan ada udara yang panas di dekat wajahnya. Begitu membuka mata, matanya bertatapan dengan mata yang bercahaya dan penuh keingintahuan. Cowok tegap tersebut kaget dan menyumpah serapah berkali-kali.

Akibat terkejut dan sedikit takut, bocah yang tadi mengamati wajah Mark menjauh dan menangis tersedu-sedu. Melihat hal tersebut, Mark menggaruk rambutnya dan mendesah. Dirogohnya ransel bagian depan dan ia menarik keluar sesuatu dari sana. Sebuah cokelat bermerk. Sebenarnya cokelat ini pemberian Karin, tapi dia sedari awal tidak berniat memakannya. Hanya saja untuk terlihat sopan, dia menerimanya. Memang cokelat ini sudah agak leleh, tapi ia yakin rasanya masih enak.

"Maafin kakak, tadi kakak kaget soalnya baru bangun tidur. Ini ada cokelat, rasanya enak, lho." Mark menyodorkan sebatang cokelat yang dililit pita (pitanya agak gepeng) pada anak tersebut sembari tersenyum simpul.

Sementara wajah anak yang kira-kira berusia enam tahun tersebut masih terlihat ragu-ragu, dia terus mengamati wajah Mark.

"Ayo nggak papa, cokelat ini enak loh. Ini permintaan maaf kakak." Mark berkata sekali lagi.

Karena tidak mendapat respon yang menyenangkan, Mark membuka cokelat tersebut dan mengajak si anak duduk di sampingnya. Dia mengambil satu potong dan menyerahkannya pada anak itu, kemudian dia mengambil satu lagi dan memasukkannya asal ke dalam mulut. "Enak, kan?" tanyanya sembari tersenyum ceria, berbeda dengan ketika dia baru bangun tidur tadi.

Anak itu yang melihat Mark memakan cokelat, dia juga ikut menggigit cokelatnya. "Iya, enak, Kak."

"Namamu siapa? Namaku Mark," ucap Mark lebih ramah dan memulai percakapan.

Kemudian mereka saling mengobrol hingga matahari terbenam sambil mengecap manis pahitnya cokelat pemberian Karin...

***

No One Can Hide from LoveWhere stories live. Discover now