=5=

100 9 0
                                    


Di sepeda motor, Mark berpikir kejadian tadi. Satu malam dapat mengubahnya secara drastis. Sekarang dia telah membuka topengnya dan menunjukkan sifatnya pada Carlo. Tapi untuk apa pula dia menyembunyikan dirinya yang asli dari Carlo? Mmm, sepertinya Carlo adalah orang yang sangat enak untuk diajak bersahabat.

.

.

.

"Bagaimana bersekolah di Straight Lines? Menyenangkan, bukan? Teman-temanmu cukup baik, kan?" tanya ibu perhatian ketika mereka tengah makan malam.

Keluarga mereka cukup lama tidak makan malam bersama seperti ini. Maka ketika ada kesempatan, mereka menggunakannya sebaik mungkin.

"Yah, mereka cukup baik dan mau menerimaku," jawab Mark sambil lalu. Laki-laki itu hanya sibuk menggigiti daging ayam yang tersisa di piringnya.

"Pelajarannya sendiri, bagaimana?" kali ini ayah yang bertanya.

"Ya standar-standar saja, sama saja seperti sekolah dulu."

Kemudian suasana kembali hening, semua anggota keluarga menekuni makanan masing-masing. Bagi Mark hal ini sudah biasa, namun ini sedikit menggelisahkan bagi kedua orangtuanya. Entah sejak kapan Mark menjadi dingin pada mereka, tapi yang pasti ketika ia beranjak remaja, ia sudah menjadi pribadi yang dingin dan jarang bicara. Meski sedih, ayah dan ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan menurut mereka, Mark masih bersama mereka saja sudah bagus. Tidak apa, yang penting Mark masih di sisi kami, dan semuanya akan baik-baik saja... pikir ibu menghibur diri.

.

.

.

Hari ini penampilan Mark berbeda dari biasanya, dia memakai Pomade sehingga rambutnya condong jeprak dibanding biasanya. Niat awalnya karena Mark bosan dengan penampilan sehari-harinya, dia ingin membuat perubahan suasana. Yang biasanya memakai motor bebek milik ayahnya, hari ini Mark juga membawa motor besarnya. Begitu menginjakkan kaki di halaman sekolahnya, beberapa pasang mata menatapnya dengan kagum, terutama mata para kaum hawa. Bahkan ada yang menatap kagum dan menggoda secara terang-terangan. Namun tentu saja Mark tidak tergoda, dia justru memasang raut cuek dan menyampirkan tasnya dengan santai. Beberapa cewek sudah ditolaknya, tentu cewek lainnya juga diacuhkannya.

Tiba di kelas, Mark langsung meletakkan ransel hitamnya dan mengikat dasi. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengalungkan dasi tanpa terikat di lehernya dan barulah memasangnya dengan benar ketika telah sampai di sekolah. Selagi mengikat dasinya, seseorang menepuk bahunya.

"Hoi, Mark!" seru seseorang dengan nada ceria.

Mark tersentak dan mendelik pada empunya suara. "Berteman denganmu lama-lama bisa memberiku penyakit jantung," kata Mark dengan penuh sarkasme.

Mike tidak mengindahkan apa yang diucapkan Mark, ia malah mengacak rambut Mark dan itu membuat Mark makin sebal. "Tumben hari ini lebih keren. Eh, salah ding, tiap hari kamu kan keren! Hahahaha."

Cowok judes itu menepis tangan Mike yang masih mengacak rambutnya. "Singkirkan tanganmu, aku perlu beberapa menit untuk menyusun rambut seperti ini."

Mike menarik tangannya dan menggerutu, "Yikes. Tanganku jadi sedikit lengket."

"Tahu rasa, sudah tahu aku memakai Pomade, masih saja mengacak rambutku!" ujar Mark dengan terkekeh.

.

.

.

Dua orang tersebut mengobrol di perpustakaan. Sekarang tempat ribuan buku itu adalah tempat pertemuan rahasia Mark dan Carlo. Entah sejak kapan mereka memutuskan untuk bertemu dan berbicara di sana, mungkin sejak Mark mencegat Carlo di sana untuk meminta kejelasan. Namun, kali ini mereka duduk di salah satu meja yang ada di perpustakaan, bukannya di antara rak buku.

No One Can Hide from LoveWhere stories live. Discover now