=7=

86 9 0
                                    

Orang terakhir yang sangat dia percayai adalah Madeline, setelah dia memutuskan tidak berteman lagi dengan Madeline maka dia juga memutuskan tidak percaya pada siapa-siapa lagi. Tapi, semenjak bertahun-tahun berlalu, dia bertemu dengan Carlo. Hanya ketika bersama dengan cowok itu dia merasa bisa bercerita tentang segalanya dan bahkan dia bawel-bawel pada Carlo.

Mark membuka wadah Pomade-nya dan mencolek sedikit kemudian meratakannya di telapak tangannya. "Kamu coba pakai, ya, Carlo. Pasti keren kalau kamu pakai ini!" katanya dengan senang.

"Aduh, nggak ah. Aku nggak pantas pakai begituan!" tolak Carlo, namun tentu saja dia tidak bisa menolak Mark. Dia tidak kuasa menolak cowok arogan itu.

Dan benar saja, Mark tidak mendengarkan Carlo sama sekali, dia malah sudah mengusap-usap rambut Carlo dengan gel rambut itu. Sementara Carlo hanya dapat mengembuskan napas pasrah.

"Mark, kamu itu nggak pernah mendengarkan orang lain, ya..."

Senyum lebar terlukis di wajah Mark, "Yes, I am."

Itu yang membuatku menyukaimu, tambah Carlo dalam hati...

.

.

.

Beberapa tahun terakhir, Mark sangat dingin pada semua orang. Ibu sadar semua itu, tapi mencari penyebabnya jelas bukan hal yang mudah. Ia baru merasakan bahwa perubahan putranya yang menjadi dingin ini sangat menyesakkan. Kapan kah Mark terakhir kali bersikap hangat? Sembari mengaduk adonan dengan cepat, wanita bercelemek kembang tersebut memutar otak. Mungkin kelas VII. Oh ya! Terakhir Mark bersikap hangat adalah ketika dia duduk di bangku kelas I SMP!! Begitu teringat momen terakhir Mark menangis padanya, ibu langsung mencari cara agar dapat meminta Mark bercerita lebih jelas soal perubahan sifatnya. Waktu itu Mark hanya pulang dan menangis padanya tanpa mau bercerita lebih lanjut dan kemudian tertidur. Begitu bangun, putra satu-satunya itu menatapnya dengan dingin, bagaikan dia telah disihir...

Maka, begitu Mark pulang sekolah, ibu membuatkan jus jeruk dan mengiriskan sepotong kue untuknya.

"Mark, ganti baju dulu, terus makan dan minum ini." Wanita tersebut berkata demikian seraya meletakkan piring berisi kue tersebut di meja makan, tak lupa sebuah senyum hangat disunggingkannya.

Cowok yang tengah menggaet tas ransel di bahu kanannya mengerutkan dahi, ia memandang ibunya dengan heran. Namun tak ayal ia menjawab juga, "Iya, Ma."

Beberapa menit kemudian Mark turun juga ke ruang makan dan langsung duduk di hadapan ibu. Dia menatap ibu sebentar kemudian langsung meneguk jusnya dan melahap cake pisang buatan sang ibu. Wanita yang berada di seberangnya memandangi Mark seraya tersenyum lembut, dia sangat bahagia melihat salah satu pria kesayangannya makan dengan lahap. Melihat putranya yang sudah begitu besar membuatnya terharu, namun di matanya Mark tetaplah bocah kesayangannya.

"Mama kangen sama kamu, Mark. Sudah sangat lama kita nggak seperti ini," ucap ibu, dagunya bertumpu pada punggung tangannya.

Suapan terakhir Mark terhenti di kerongkongannya mengakibatkan dirinya tersedak. Ibu dengan sigap langsung menepuk-nepuk punggung Mark dan menyodorkan segelas jus pada Mark. Dan dalam beberapa teguk, jus jeruk tersebut tandas.

"Mama aneh, deh," ujar Mark sambil mengambil lagi potongan kue.

"Mama serius, Mark, Mama kangen sama kamu yang dulu, yang sangat hangat dan ceria, suka cerita sama Mama, suka ngadu ke Mama tentang papa kamu. Terus pas kamu jatuh kamu nangis dan saat Mama obatin dan cium lukamu, kamu langsung balik ceria lagi. Setiap hari ibu, Mark juga selalu buatin kue Mama meski akhirnya dapur berantakan. Mark ingat nggak pas..."

No One Can Hide from LoveWhere stories live. Discover now