chapter 1

85.8K 5.1K 761
                                    

Note:
Sudah diedit habis-habisan, lebih tepatnya ditulis ulang. Selamat membaca!

Merasa ada bau yang enak dari luar kamar, Raka langsung membuka matanya lebar dan berlari dari kamar menuju dapur yang berada di atas kamarnya.

Dan benar saja, dia menemukan pemuda lain yang sedang membalikkan spatulanya di atas teflon berwarna merah. Senyumnya mengembang. Matanya berbinar. Raka kembali mengendus bau yang sangat nikmati ini dan membiarkan bau itu memasuki alat pernafasannya.

"Pagi, Daffa." sapa Raka dengan nada yang sangat bersahabat. Raka langsung mengambil duduk di sofa yang terletak di depan televisi dan menghidupkan benda berharganya itu. Raka membuka saluran favoritenya.

"Menurut lo gue bisa makan berapa banyak tu makanan halal?" Raka kembali bersuara. Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya dan mencomot asal omlet yang dibuat Daffa. Namun makanan itu jatuh. Bukan karena panas atau rasanya aneh-- mustahil rasanya kalau Daffa memasak makanan dan hasilnya pahit.

Itu karena sang pembuat makanan menjentik tangan Raka, membuat makanan yang berharga itu mencium lantai apartement mereka yang berwarna coklat muda.

Raka melemparkan tatapan brutal pada Daffa. "Kenapa lo nyentil tangan gue pas benda berharga itu hendak masuk ke liang surga?" suaranya penuh dengan kebencian.

Seharusnya Raka tidak terlalu marah dengan apa yang dilakukan Daffa tadi. Seharusnya begitu. Tapi berhubung Raka seorang maniak makanan, terutama makanan yang menurutnya enak, jadi kelakuan Daffa tadi patut diberi pelajaran.

Itulah kenapa Raka masih menatapnya brutal.

Sedangkan Daffa hanya diam dan kembali memukul Raka. Kali ini bagian kepala. "Lo belum sikat gigi, bego. Jigongnya kecium sampe sini." tukasnya dingin.

Raka menatap Daffa dengan tatapan yang sulit diartikan yang berefek aneh pada Daffa sendiri, dia jadi merasa kurang nyaman dengan keadaan ini. Apalagi melihat iris mata coklat milik Raka. Rasanya Daffa benar-benar ingin melompat dari apartement ini. "Tadi lo minta cium?"

Mendengar itu lantas Daffa langsung mengalihkan pandangannya dan kembali ke dapur. Dia tidak ingin sahabatnya yang super absurd itu melihat pipinya yang memerah sekarang. Bukan baper, tapi mimpi tadi malam membuat dirinya aneh dengan kelakuan Raka yang memang seperti ini.

"M-mandi sana!" perintah Daffa, yang masih pura-pura sibuk membersihkan piring dan teflon yang tadi dipakainya. "Udah hampir jam setengah tujuh nih. Ntar kita telat."

"Iya, iya princess."

"Hah?" Itu bukan nada bingung atau marah, hanya nada yang-diketahui-daffa-seorang-tapi-biasa-digunakan-saat-marah. Raka langsung mengambil kuda-kuda. "Mau berantem?!"

Daffa hanya menghela nafas lalu menggeleng pelan. "Buruan. Gue gak mau melanggar aturan yang gue bikin sendiri, bego." ucapnya datar dan dibalas dengan cengiran Raka.

Terdengar langkah kaki Raka semakin menjauh. Semakin jauh, dan akhirnya terdengar pintu tertutup. Namun tak terdengar suara shower yang hidup.

"RAKA PRATAMA! JANGAN TIDUR LAGI! UDAH SIANG!"

***

Motor mereka (Raka dan Daffa) sudah terparkir rapi di kawasan Masjid depan sekolah. Masjid itu mempunyai lapangan dan tempat parkir yang cukup luas, membuat banyak siswa SMA memarkirkan motor ataupun mobil mereka di Masjid ini. Terlebih, parkir disini sama sekali tidak dipungut biaya.

[ i ] Raka and DaffaWhere stories live. Discover now