Part 2

23.6K 1.8K 64
                                    

-Karin Pov-

Malam hari, aku terduduk di jendela kamarku sambil menatap langit dengan tangan menggenggam sebuah buku diary kecil. Jutaan embun yang melekat di antara dedaunan memantulkan cahaya bulan yang menerangi kegelapan di setiap sudut halaman rumah. Kupandangi bulan yang menggantung sendirian diatas sana tanpa ada titik cahaya bintang satupun. Benar-benar pemandangan langit yang hampa. Meskipun begitu, malam memiliki keindahan tersendiri yang selalu membuatku terpesona.

Aku mulai membuka bukuku dan mulai menulis. Bagiku, malam lebih membuatku tenang dari pada siang. Cahaya bulan yang lembut selalu menghadirkan kedamaian tersendiri dalam benakku.

Udara yang berhembus syahdu.

Kilau embun yang lembut.

Cahaya bulan yang bersinar anggun.

Disana terbentang batas sepi.

Malam kian berlalu.

Merangkai seribu mimpi.

Mengarungi malam dan mengoyakan sunyi.

Aku menghentikan gerakan tanganku. Kupandangi sekali lagi tulisanku sebelum menutup bukuku. Setidaknya itulah bait-bait yang tersirat dalam hatiku.

Sudah hampir satu jam aku duduk di jendela setelah listrik padam, tapi aku belum menyalakan lilin satupun dan membiarkan rumahku dalam keadaan gelap. Kecuali kamarku yang diterangi cahaya bulan yang masuk melalui lubang jendela. Ketenangan ini membuatku enggan untuk beranjak meskipun udara dingin mulai merambat di setiap permukaan kulitku hingga ke leher.

Tak lama kudengar suara pintu kamarku terbuka. Aku terlonjak saat kulihat sepasang mata kecil menyala sempurna dengan warna hijau terang dari celah pintu. Tubuhku kembali melemas saat aku tahu bahwa mata itu milik kucingku, Ren. Pintu kamarku yang tidak tertutup rapat membuat Ren berhasil mendorongnya hingga setengah terbuka dan aku bisa melihat kegelapan dari ruang tengah.

Ren mengeong dan langsung melompat ke jendela. Cahaya matanya mulai meredup saat menatap keluar. Ren terduduk disampingku sebelum aku mengelus bulunya. Ia mengeong pelan dan matanya semakin menyipit hingga setengah terpejam, pertanda bahwa ia merasa nyaman dengan elusanku. Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya yang polos seperti kertas.

Semakin lama tubuhku mulai menggigil kedinginan. Tak kuat menahan dingin, akhirnya kuputuskan untuk menyalakan lilin sebelum menutup jendela. Rumahku semua sudah dalam kondisi pintu terkunci dan aman dengan membiarkan seluruh ruangan dalam keadaan gelap, kecuali kamarku yang diterangi cahaya lilin. Aku menutup tirai jendela sambil menggendong Ren yang matanya sudah kembali terbuka. Kulihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku meletakan Reen di pojokan kasur. Ren menguap dan meregangkan tubuhnya sebelum akhirnya meringkuk dan terlelap hingga membentuk bulatan seperti kue tar yang berbulu.

Aku membaringkan diri dan menarik selimut hingga seleher. Mataku masih menerawang keatas. Sesekali memejamkan mata dan bertanya pada hatiku sendiri. Aku merasa seperti mengalami perpisahan yang menyedihkan dengan orang yang pernah kucintai dan kejadiannya—sepertinya belum lama. Entah aku yang meninggalkannya atau dia yang meninggalkanku. Yang jelas aku benar-benar terluka dengan perpisahan itu. Tapi—dengan siapa? Aku bahkan tidak mengingat wajahnya sama sekali.

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan sebelum akhirnya meremas rambutku. Apa yang terjadi denganku sebenarnya? Aku tidak merasa mengidap amnesia. Kalaupun aku amnesia mungkin aku sudah melupakan segalanya, tapi pada kenyataannya aku masih bisa mengingat masa laluku waktu aku kecil. Bahkan aku juga masih bisa mengingat saat aku ketahuan memakan permen hasil curian sepuluh tahun yang lalu, tapi—aku tidak bisa mengingat kekasihku tahun-tahun yang lalu. Itulah yang membuatku selalu bertanya. Siapa dia? Seperti—ada orang yang mengambil kenangan itu dan menghapusnya secara paksa dari ingatanku.

Loizh II : AreyWhere stories live. Discover now