Part 13

14K 1.3K 61
                                    

-Karin Pov-

Sore ini, aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit dengan tergesa-gesa. Rasa cemas menyeruak begitu dalam seiring dengan langkahku. Panggilan telepon dan beberapa pesan singkat dari Kenzie yang sedari tadi membuat ponselku berdering, kali ini aku benar-benar mengabaikannya. Entah kenapa, aku lebih mengkhawatirkan pemuda itu. Yap, semenjak pemuda itu memanggil namaku. Jujur saja, itu sangat menggangguku. Jika pemuda itu mengenalku kenapa aku tidak mengenalnya? Oh sial! Sebenarnya seberapa parah amnesiaku ini?

Kini aku sudah berdiri di depan sebuah ruangan dimana pemuda itu terbaring. Aku memutar kenop pintu dan melangkah masuk perlahan. Dari ambang pintu, kulihat pemuda itu masih terlelap. Ruangan begitu sunyi, tidak ada orang lain selain pemuda itu sebelum aku memasukinya. Apa belum ada pihak keluarganya yang dihubungi? Malang sekali pemuda ini.

Kini aku sudah berada di samping pemuda itu, wajahnya begitu pucat seolah-olah tidak ada darah yang mengalir. Aku meletakan telapak tanganku didahinya. Meskipun wajahnya terlihat pucat tapi—tubuhnya tidak sedingin yang kupikirkan. Dasar pemuda aneh!

Ponselku kembali berdering untuk kesekian kalinya, dan deringnya menggema di ruangan, itu cukup membuatku sebal. Akhirnya kuputuskan untuk menecan tombol Call dan menjauh dari tempat pemuda itu berbaring.

"Karin kau dimana? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" Sebuah pertanyaan menyerbuku dari suara seberang sana.

"Hmm—aku sedang berada di—rumah temanku. Ada apa Kenzie?" jawabku berbohong.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Aku bisa mengantarmu."

Aku memutar bola mata. "Kenzie itu tidak perlu. Jika teman-temanku sering melihatku selalu bersamamu, mereka akan berpikir yang tidak-tidak. Kau mengerti kan?"

"Maksudmu—kau tidak mau jika temanmu berpikir bahwa aku pacarmu?"

"Yahh begitulah. Aku—mereka semua tahu kalau kau adalah sahabat kecilku."

"Apa salah jika mereka berpikiran seperti itu? Itu hak mereka dan—"

"Tapi pada kenyataannya tidak seperti itu," sergahku memotong. "Aku tidak ingin ada salah paham entah itu kau maupun teman-temanku yang lain."

"Ehmm—baiklah, maafkan aku. Aku hanya khawatir padamu, itu saja. Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu, atau nanti aku jemput jika kau mau," ucapnya dengan nada menyerah.

"Terimakasih. Kau sudah sering membantuku. Maaf jika hari ini aku jarang mengubungimu."

"Tidak apa-apa. Sekarang, nikmatilah waktumu bersama teman-temanmu okey. Jangan lupa untuk meneleponku jika kau membutuhkan jemputan. Aku siap kapanpun yang kau mau." Kali ini nadanya terdengar semangat.

Jujur saja, itu membuat hatiku teriris. "Jangan berbicara seolah-olah kau adalah pengawalku."

"Karena kau adalah tuan putri di hatiku." Suaranya melembut. "Selamat bersenang-senang!" lanjutnya kembali meninggi dan bersemangat.

Telepon terputus sesaat dan aku hanya bisa menghela nafas. Apakah kata maaf saja sudah cukup untuknya? Dalam keadaan seperti ini, aku ingin sekali mengucapkan kata maaf hingga ribuan kali padanya. Tepatnya meminta maaf atas perasaanya yang belum sempat kubalas.

"Maafkan aku Kenzie," riasuku dalam hati.

"Karin!" Sebuah suara memanggilku lemah dari arah belakang.

Aku menoleh saat pemuda itu memanggilku lagi. Aku merubah nada dering ponselku menjadi senyap sebelum bergegas mendekatinya.

"Karin."

Loizh II : AreyWhere stories live. Discover now