8. Tatapan dan Tawa yang Tertahan

17.5K 2.7K 259
                                    

Hari ini, Harry mengajakku dan Ron berkunjung ke pondok tempat tinggal Hagrid. Aku benar-benar bersemangat. Rasanya sudah lewat satu dekade sejak kali terakhir aku mengunjungi rumah Hagrid.

"Di mana Ron?" tanyaku. Aku dan Harry berjalan bersisian di koridor panjang Hogwarts. Hanya berdua. Harusnya Ron ada di sini. Mungkin cowok itu benar-benar tenggelam di dalam semangkuk sereal lalu mati.

Bercanda.

Harry melirikku sekilas. "Eh—"

Aku mengangkat alis kananku. "Ada apa?"

"Tidak." Harry menggelengkan kepalanya. "Dia sedang ada urusan."

Aku tertawa sinis. "Katakan saja Lesslie. Aku tidak masalah. Mengatakan namanya, kan, tidak akan membunuhku atau apa."

Harry menoleh dengan cepat. Kukira dia akan berkomentar atau setidaknya bertanya apa kepalaku baru saja terbentur oleh sesuatu atau apalah, tapi tidak. Harry hanya mengangkat bahunya lalu kembali berjalan dengan santai. "Ron akan menyusul ke rumah Hagrid," katanya.

Aku mengangguk-angguk saja.

Wajar sih, kalau Harry merasa bingung, mengingat beberapa hari yang lalu, aku nyaris mengamuk dan melemparkan mantra-entah-apa-yang-jelas-buruk kepada Harry, hanya gara-gara cowok itu menyebut nama Lesslie.

Tapi kurasa, ah, entahlah, aku tidak yakin apa yang kurasakan. Tapi lama-lama, aku bosan juga memikirkan Lesslie dan Ron terus-terusan. Untuk apa memikirkan orang-orang yang jelas-jelas tidak memberikan keuntungan apa pun padamu?

Lain halnya kalau aku memikirkan profesor-profesor ternama yang sudah menyumbangkan pikirannya pada dunia. Nah, itu baru boleh kupikirkan berjam-jam.

Jadi, semalam, aku menetapkan hatiku. Aku tidak boleh lagi memikirkan Ron dan Lesslie. Tidak akan pernah.

Aku senang sekali ketika memejamkan mataku, aku tidak perlu melihat wajah Ron ataupun Lesslie.

Bukannya aku berkata aku tidak melihat apa-apa. Draco Malfoy masih belum mau ber-Disapparate.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menendang cowok itu keluar dari pikiranku. Maksudku, bagaimana aku bisa tahu cara mengeluarkan cowok itu dari pikiranku, kalau aku saja tidak tahu bagaimana dia bisa masuk ke dalam pikiranku?

Ah, sial.

"Hermione!" Itu Harry.

Aku mengerjap. "Ada apa?"

"Kau tidak mendengarkanku." Harry memasang raut wajah sebalnya.

Aku memasang cengiran di wajahku. "Maaf, maaf. Apa yang tadi kau katakan?"

"Aku bertanya, bagaimana hubunganmu dengan Ron?" tanya Harry. "Maksudku, ini sudah seminggu sejak pengakuanmu bahwa Draco memang menginap di rumahmu, aku hanya penasaran—"

"Kurasa, hubungan kami sudah membaik," kataku.

"Apa kau yakin?" tanya Harry.

Sejujurnya, tidak juga. Akhir-akhir ini, aku jarang berbicara dengan Ron. Entah karena aku yang terlalu sibuk, atau dia yang terlalu sibuk berpura-pura sibuk. Yang mana sajalah.

Tapi setiap kami bertemu, Ron sudah tidak bersikap terlalu menyebalkan. Atau terlalu menghiraukanku. Kurasa kami kembali seperti dulu.

Bukan dulu yang itu. Dulu sebelum perasaan suka dan sebagainya menyelinap di antara pertemanan kami. Dulu saat kami baru pertama kali bertemu.

Aku tidak tahu mengapa, tapi aku sangat senang membayangkan kami bisa seperti dulu.

[.]

"Itu Ron!" Harry menunjuk ke arah seseorang yang sedang berdiri di depan pintu rumah Hagrid. Harry mempercepat langkahnya. Aku mengikuti dari belakang.

"Hai, Harry, Hermione!" Ron melambaikan tangannya dengan bersemangat. Ia memasang cengiran khas Ron di wajahnya.

"Hei," balasku. "Kenapa kau tidak masuk?"

"Aku menunggu kalian, tentu saja," jawabnya.

"Baiklah." Harry kemudian berjalan melewati Ron dan mengetuk pintu rumah Hagrid keras-keras. "Hagrid! Apa kau ada di dalam?"

Tidak sampai dua detik kemudian, pintu besar di hadapan kami terbuka, menampilkan sosok besar yang namanya diawali huruf H, diakhiri huruf D, dan di tengah-tengahnya ada huruf A, G, R, dan I. Hagrid!

Sial, selera humorku benar-benar larut dalam setiap detik hidupku. Mungkin Draco benar, mungkin aku tidak genius...

Tunggu, siapa yang benar?

Tidak. Tidak. Bukan siapa-siapa.

BARUSAN AKU TIDAK MEMIKIRKAN SIAPA-SIAPA!

"Hermione?" Itu suara Ron.

Aku mengerjap dan mendapati Ron, Harry, dan Hagrid sedang memandangiku dengan bingung.

"Kau melamun lagi," kata Harry.

Aku nyengir. "Maaf."

"Aye, ayo masuk! Aku sudah membuat teh yang sangat enak! Kalian harus mencobanya," kata Hagrid dengan riang. Ia membalikkan tubuhnya lalu berjalan masuk.

Aku, Harry, dan Ron saling berpandangan. Sambil menahan tawa kami (karena tahu kan, teh Hagrid itu seperti apa rasanya), kami melangkah memasuki rumah Hagrid.

Ah, benar-benar menyenangkan. Coba saja dari dulu begini. Coba saja aku tidak pernah menyukai Ron, dan Ron tidak pernah menyukaiku. Semuanya akan sesederhana saling bertatapan dan menahan tawa. Tidak pernah akan ada tangisan yang menyertai kami.

Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, semuanya memang harus terjadi. Kalau tidak, aku mana mungkin lebih menyayangi Harry dan Ron sebagai temanku lebih dari yang sudah-sudah?

Aku benar-benar menyayangi mereka. Aku sama sekali tidak menyesal telah diserang oleh troll di tahun pertamaku. Kalau tidak begitu, aku tidak akan pernah berteman dengan Harry dan Ron. Dan kalau aku tidak berteman dengan Harry dan Ron, mungkin generasi-generasi Hogwarts berikutnya akan mengenal Hermione Merana.[]

Apparate [Dramione]Where stories live. Discover now