4. Brian si galak

11.6K 978 65
                                    

Anka mengelus dadanya dan mengatur napas. Terpaksa dia lari tunggang-langgang meninggalkan Tari, karena berpapasan dengan Brian tanpa sengaja. Cowok itu menatapnya sinis seperti biasa. Daripada mengantar nyawa jajan di kantin, lebih baik dia membeli sesuatu di koperasi.

Anka mendengar selentingan gosip dari anak kelasnya tentang geng OSIS alias geng-nya Brian. Itu geng elit kelas dua belas IPA. Geng eksklusif yang isinya anak terpilih dan terlalu kuat untuk dihancurkan. Mereka solid dan keren sekali. Sementara geng elit IPS isinya berandalan, siapa lagi kalau bukan kelompoknya Davi.

"Sial. Ketemu dia mulu," gerutu Anka lemas. "Tuh cowok horor kayaknya masih dendam deh sama gue. Ngeliatin gue begitu. Kok dia inget gue sih? Wajar gue emang cantik dan dikejar mulu. Tapi kan kejadiannya udah lama. Mana mukanya kayak ngajak ribut ngeselin banget. Dendaman banget orangnya. Aduh, untung gue sempat kabur!"

"Anka, kok lari?" Di belakang Davi tengah mengejarnya, cowok itu melemparkan senyuman manis.

"Ah, iya gue kebelet, Dav. Toilet dulu deh. Lo duluan aja sama yang lain. Nanti gue nyusul," kata Anka dalam hati masih mendumel soal keribetan perang dinginnya ama Brian.

Davi ber-ooh panjang, dia mengangguk maklum dan berbalik menuju kantin lagi.

Gara-gara si Brian muka masam ini!!! Kenapa hidup gue jadi nggak tenang?

🎓🎓🎓

Anka mengeluh saat melihat kertas ulangan harian Matematika-nya tercetak nilai 19 dengan besar dan ditulis kasar penuh rasa emosi oleh Bu Dian.

Gadis itu menatap masam guru di depannya. "Bu, ini beneran?" tanyanya terheran.

"Ya, bener. Masa saya salah? Kamu itu, Anka, Masa naiknya cuma 0,9 saja? Bagaimana mau lulus sekolah. Banyakin belajar, jangan dugem mulu sama Davi," cetus guru berlipstik menor itu. Diingatkan soal dugem sepertinya satu sekolah sudah mendengar berita beberapa saat lalu yang sempat heboh.

"Bu, saya sudah mengerjakan soal dengan susah payah. Saya mau nangis kalo ngerjain soal, Bu. Matematika bukan jodoh saya, aduh. Gimana dong harus berjuang lagi sama soal-soal susah itu?" keluh gadis itu mengacak rambutnya.

"Duduk, Ibu mau menerangkan materi selanjutnya. Kamu fokus mendengarkan penjelasan dari ibu. Oh ya, nanti pulang sekolah kamu remedial Matematika di perpustakaan. Awas kalo nggak datang. Udah nilainya parah, masa kamu nggak ada keinginan untuk memperbaikinya," ucap Bu Dian geleng kepala.

Anka melotot jadi semangat. "Jadi kalau saya ikut remed nilai saya naik jadi standar KKM, Bu? 70? Nilai saya bisa jadi 70 asal ikut remedial?" Ulangnya sekali lagi dengan nada suara ceria.

Bu Dian menghela napas, dahinya berdenyut tak teratur. Ia mendesah, "Aduh, masa nilai kamu aja belum sampai 20 mau minta di atas KKM. Ulangan selanjutnya kamu harus dapat nilai 100. Itu juga kalau dibagi dua cuma dapat 60an. Anka, kamu kejar nilai lebih giat lagi."

"Baik, Bu. Apa pun saya lakukan demi lulus dari sekolah tercinta ini," sahutnya sok semangat.

Saat diusir agar duduk dia menjadi lesu berjalan gontai menuju kursinya.

Davi menyambut kedatangan Anka dengan senyuman lebar. "Kenapa cantik, kok bete?" tanyanya perhatian. "Nilai lo berapa?"

"Kecil. Lo berapa, Dav?"

Anka makin penasaran, meski Davi bodoh, jago nyontek. Sayang pas ulangan kemarin Anka mendapat paket soal yang berbeda. Teman se-paketnya jauh susah digapai. Boro-boro digapai, mau menoleh saja susah. Davi lebih pandai dalam menyontek makanya nilainya bagus.

"Gue cuma 8, Ka."

Ingin rasanya Anka berkata kasar. Davi cekikikan ceria menikmati ekspresi lucu dari wajah gadis berambut panjang itu.

EndorphinsOù les histoires vivent. Découvrez maintenant