1 - Gift

205K 10.9K 471
                                    

"Kamu serius kan Len? Nggak akan labil lagi kan?" Maryam membelai rambut Alena. Saat ini mereka sedang bersantai di ruang tamu dengan Maryam yang duduk di atas sofa dan Alena yang tidur di atas pahanya.

"Iya mom, Lena udah ambil keputusan. Kayaknya memang fix deh, Lena mau diem di Bandung aja. Masalah hotel, ya biarin aja mas Reno suruh cari ganti. Lagian disana juga Lena sendiri, kalau disini kan ada mami... kan mami sendiri yang bilang kalau mami kesepian." Sahutnya. Maryam terkikik, "Sedih ya Len, kalau udah tua ya begini. Anak-anak sama pasangan dan anaknya, lah mami disini malah sama si Honey... ngurus kucing kan nggak rame juga, dia mana bisa di ajak rumpi."

Alena tertawa dengan kencang, "Mami... kebiasaan rumpinya nggak pernah ilang... aaaa... tuh kan, di Bali nggak ada yang kayak mami." Alena bangkit dari tidurnya, menatap Maryam dan langsung memeluknya dengan erat.

Sejak orangtuanya meninggal, Maryam lah yang selalu ada untuknya dan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Di rumah ini, Alena tidak pernah diperlakukan berbeda dengan Renita maupun Reno. Tapi tetap saja, Alena punya rasa tahu diri yang besar, untuk itulah ia bersikeras untuk tinggal di Bali dan menjauh dari semua orang.

"Ya, makanya! Kamu itu kan punya mami disini, ngapain diem di Bali, emang di Bali ada apaan?"

"Ada pantai tahu mom, di Bali juga banyak bule ganteng!"

Mata Maryam berbinar, "Kalau begitu kapan-kapan kamu kenalin ke mami satu ya? lumayan, buat koleksian. Buat ganti si Mushkin sayang."

Alena tertawa lagi, "Bilangin papa lho!"

"Eeh, jangan dong sayang, mami kan nggak bisa hidup tanpa papa." Maryam mengerucutkan bibirnya. Sementara Alena hanya bisa menggelengkan kepalanya, tingkah neli yang satu ini memang sudah terkenal di seluruh penjuru Bandung.

"Hm... ngomong-ngomong Len, mami kepikiran sesuatu."

"Apa mom?"

"Kamu... hmm... kamu udah bener-bener ngerelain si Mus sama Icha?"


*****


"Mas, barusan aku liat ada Café baru depan kantor. Kita kesana yuk!"

Astrid tersenyum manis pada kekasihnya yang saat ini tengah sibuk dengan cetak biru rancangannya. Sepuluh menit lagi menuju jam makan siang tetapi pria itu masih asik bercumbu dengan hasil gambarannya.

"Mas..."

Muda menatap ke arahnya, melirik jam tangan sebentar kemudian membereskan kertas-kertas yang sejak tadi di perhatikannya.

"Mau makan apa?" Tanyanya. Astrid tersenyum, "Aku nggak tahu menu disana, kan baru mas! Kita kesana ya?"

Muda menghela napasnya, "Bisa delivery nggak?"

"Aku nggak tahu, kan Café nya baru sayang... makanya kita kesana sekarang. lagian siapa tahu disana ada promosi. Iya nggak?"

Muda tak bergeming.

"Mas! ya? kita makan disana."

Muda terlihat berpikir.

"Maaaass..." Pada akhirnya Astrid mengelilingi meja kerja nya dan langsung menarik tangan Muda dan memaksanya untuk berdiri.

Baiklah, sepertinya Muda tidak punya pilihan lain.

Akhirnya, ia mengambil jas nya kemudian membiarkan dirinya ditarik oleh Astrid menuju Café yang di maksud oleh kekasihnya itu.

Memang Café baru, poster bertuliskan 'Grand Opening' terpampang dengan besar di sana. Salah satu pelayan Café yang memakai seragam menghampirinya dan Astrid.

A Short Journey (3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang