Part 1 Adelia

97 5 3
                                    

Matahari mulai naik menyemburatkan cahayanya ke pelosok Entikong, daerah ujung dari Republik Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. Hirukpikuk mulai nampak dan orang-orang bergegas mengejar rizki yang telah ditebarkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.

Aku telah usai membantu nenek mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Aku lalu bergegas mandi, bersiap-siap sekolah dan sarapan.

"Nek, Aku berangkat ! Assalammualikum ...!"

Ucapku sambil berlari keluar dari pintu setelah menyelesaikan sarapanku.

"Ya, wa'alaikumsalam, hati-hati, nak !"balas nenek kemudian.

Begitulah rutinitasku setiap pagi, bangun pagi-pagi lalu sholat subuh dan segera membantu nenek memasak, cuci piring, menyapu dan jika sempat aku membantu nenek mencuci baju. Usai mengerjakan semuanya aku segera mandi, bersiap-siap dan sarapan. Dua potong singkong rebus dan segelas teh sudah cukup untuk mengisi perut di pagi ini. Menu pagi yang hampir tak pernah ganti, atau bilapun ganti hanya digantikan oleh dua potong mantang atau jagung rebus.

Begitulah, tinggal di gubuk mungil bertembok dan beralaskan kayu dan papan dengan sepetak kebun dari belakang serta rutinitas-rutinitas yang melelahkan ku lalui sebagai alur kehidupan yang diberikan dan ditakdirkan untukku. Namun, aku tetap bersyukur Allah masih memberiku nenek dan bapak yang sayang padaku. Hidup yang berat memang, tak hanya kesulitan, kesusahan dan pekerjaan yang melelahkan, tapi juga cemoohan yang begitu sering orang-orang lontarkan membuatku merasa diriku makin menyedihkan. Namun nenek selalu berpesan, "Allah sudah berjanji, bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan ! Allah bahkan mengulanginya dua kali sebagai bentuk penegasan, yang berarti pasti. Kita harus yakin, karena kalau bukan Allah, siapa lagi yang akan menyelipkan kemudahan dalam kesulitan kita, Nak !"Nasehat nenek yang selalu diulang-ulang berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Insyrah ayat enam dan tujuh. Ya, begitulah Sobat ! Aku berusaha untuk terus meyakininya dalam kehidupanku. Dan pagi ini aku harap keyakinanku akan datang dalam nyataku.

Pelajaran pertama dimulai, Pak Yusuf mulai mengajar dengan gayanya yang mengasyikkan. Beliau kemudian memberi contoh-contoh soal.

"Arif, Ayo maju, kerjakan soal nomer satu !" Perintah Pak Yusuf pada Arif.

"Adelia Nur Haliza, siap-siap kerjakan soal berikutnya !"Perintah Pak Yusuf kemudian yang ditujukan padaku.

Ya, itulah namaku,"Adelia Nur Haliza" nama yang nenek bilang diberikan oleh emak padaku. Emak yang entah berantah. Emak yang tak pernah kutahu wajah dan keadaanya. Karena nenek selalu berkaca-kaca, menangis dan terlihat sedih saat aku menanyakannya. Begitupun bapak, raut wajahnya akan berubah bila ku tanya tentang emak. Akhirnya kuputuskan untuk diam dan tak bertanya lagi tentang emak.

Aku segera maju ketika Arif telah mengerjakan soal nomer satu. Tak butuh waktu lebih dari tiga menit aku menyudahi jawabanku lalu kembali duduk.

"Ya, baguslah ! begitu caranya, ya !" komentar Pak yusuf kemudian. Alhamdulillah, aku bersyukur ditengah berbagai cobaan hidup yang menerpa, Allah masih memberiku kelebihan dalam bidang pendidikan. Arif, anak laki-laki yang mengerjakan soal itu merupakan saingan tetapku. Kami selalu berpacu dalam prestasi pendidikan, dan Arif bukan hanya anak yang pandai dia juga ramah dan sangat baik. Dia adalah satu-satunya sahabatku, yang tak pernah mencemooh dan mengejekku.

SEPENGGAL KISAH  DI PELOSOK ENTIKONGWhere stories live. Discover now