PART IX

205 36 38
                                    

3RD POV

Matahari telah menampakkan sinar jingganya di ufuk timur, pertanda awal hari yang baru telah tiba. Seorang gadis berjalan lunglai keluar dari kamarnya. Ia merapikan rambut brunette coklatnya yang terurai berantakan hingga bahunya.

"Sudah bangun, hah?" Daniel seraya merapikan dan mengemasi tas sekolahnya.

"Ya." Sesekali Ly menutup mulutnya karena menguap.

Para Blood Teeners mempersiapkan dirinya masing-masing guna menghadapi kerasnya persaingan di dunia yang cepat ini. Selesai berkemas, mereka mulai berpencar dan mencari jati diri mereka yang sesungguhnya. Seperti biasa, pondok hanya menyisakan tiga orang setiap paginya.

"Siap belajar?" Keith dengan semangatnya. "Apa kau mau ikut, George?" Sambungnya.

"Siap!"

"Boleh." Jawab George beriringan dengan jawaban siap-ku. "Belajar itu tidak mengenal usia." Sengir George.

Daniel's POV

Sekolah lagi. Huff

"Hey Cary, aku duluan ya!" Aku langsung memisahkan diri dengan Cary di pertigaan jalan.

"Baiklah." Jawabnya.

Aku langsung bergegas menuju sekolah yang lumayan jauh dari pondok. Aku berlari-lari kecil agar tidak terlambat.

Sesampainya disana aku langsung masuk ke dalam sekolah dan menuju kelas 2-1. Kelas 2-1 adalah kelasku dan ber-isikan anak-anak yang cerdas, tidak seperti kelas 2-5 atau kelas Ly, kelas itu berisikan anak-anak berandalan.

Bukannya sombong, aku lumayan menonjol di bidang akademik, dan juga selalu mendapatkan peringkat di kelas.

"Hai Daniel, mau kuantar ke kelas?" Harap seorang wanita yang bermata hitam pekat dan bibir yang diolesi sedikit lipstick. Jijik.

"Tidak. Aku bisa sendiri, Lauren." Balasku.

"Oh, baiklah." Lauren membalikkan badan dan berlalu pergi meninggalkanku, aku dapat melihat ekspresi kecewa-nya. Bodo Amat.

Aku bingung dengan para wanita disini, apa yang salah denganku? Bahkan dari adik kelas, hingga kakak kelas naksir kepadaku. Dari yang minta nomor ponsel hingga minta diantar pulang denganku. Huff.

Saat aku melewati kelas Ly, aku banyak melihat kertas-kertas yang berisikan hinaan dan lainnya yang menempel pada sebuah meja kosong. Aku beranggapan mungkin itu meja dari Ly, dia kan memang mangsa Bully. Aku kasihan dengannya.

Aku lanjut berjalan menuju kelasku dan memulai proses belajar-mengajar.

***

Ahh leganya, akhirnya pelajaran hari ini telah selesai. Aku langsung mengemasi tas dan bersiap pulang. Terlihat seorang gadis menghampiriku.

"Mau pulang denganku?" Lagi-lagi Lauren menggodaku.

"Tidak, terima kasih." Balasku dingin. Dapat kulihat raut wajah kecewa dari Lauren. Dasar terlalu berharap. Aku langsung meninggalkan kelas dan bergegas pulang ke pondok.

Saat di perjalanan menuju pulang, aku mendengar suara yang mencurigakan dari sebuah gang, aku langsung menghampiri gang itu. Gang itu sangat sempit dan hanya dapat dilalui oleh lima orang yang berjalan sejajar.

Aku bersembunyi di balik tempat sampah. Dapat kulihat seorang bocah laki-laki yang tengah meringkuk di ujung gang, dia sedang di bully oleh ketiga temannya, kuperkirakan mereka masih anak SD. Dasar, dari kecil sudah main Bully aja.

"Dasar kau, Bodoh. Mengapa kau tidak memberi kami jawaban saat ulangan tadi." Ucap seorang anak yang terlihat seperti pemimpin dari para pendosa itu.

Anak itu hanya terdiam dengan kepala yang tertunduk. Aku harus bertindak dengan memusnahkan para pembocah ini. Langsung saja aku keluar dari persembunyianku dan mendekati mereka.

"Siapa kau?" Tanya seorang bocah yanb berdiri di samping ketuanya.

"Hanya seorang remaja yang akan menuntaskan kejahatan di dunia ini." Sengirku

Aku langsung mengambil pisau lipatku di dalam kantong dan melayangkan ke jantung bocah yang bertanya tadi, pisauku tepat menancap di jantungnya. Kedua bocah yang lain tampak ketakutan dan ingin melarikan diri. Aku langsung menarik kedua kerah bocah itu dan menghantamkan badan mereka ke dinding gang. Langsung saja kutikam kedua jantung mereka dengan cepat, dan mereka semua tewas.

Aku memang tidak suka menyiksa korbanku, aku akan mengakhirinya dengan cepat (Baca Chapter Sebelumnya).

Mataku teralih ke anak yang di bully tadi, dia tengah ketakutan seraya menatap para pembully-nya yang telah terkapar tak berdaya di lantai gang. Ia menatapku dengan tatapan horor. Aku mendekati anak itu.

"Hey, tenanglah. Sekarang kau telah selamat. Kembalilah pulang ke rumahmu."

"Kau tidak akan membunuhku?"

"Tidak. Aku hanya membunuh para pendosa, sedangkan kau tidak berdosa. Mau kah kamu berjanji kepadaku?"

Bocah itu mengangguk ragu.

"Tolong jangan ceritakan kejadian hari ini, walaupun kepada kedua orang tuamu, janji?"

Bocah itu kembali mengangguk kecil dan meninggalkan tempat ini. Oke, harus ku-apa-kan mayat para pendosa ini? Mungkin aku akan meninggalkan mayatnya dan membiarkan polisi menemukannya.

Sebelum aku beranjak pulang, aku memeriksa kembali TKP agar tidak menimggalkan jejak yang dapat membahayakan identitasku. Setelah selesai, aku langsung bergegas pulang ke pondok.

Hey people in the world

Akhirnya kelar juga, vote sebelumnya dikit banget. Cerita selanjutnya bakal apdet kalo vote sampe 20 orang. Padahal chapter ini apdet kalo chapter sebelumnya sampe vote 20 orang, tapi Author mah orangnya baik. Iya kan? *KedipKedipMata :v

Leave your comment and vote

Yourself is under attack!

~NabilZuhdy

Virus DetectedWhere stories live. Discover now