Prolog

102K 5.3K 137
                                    

SUDAH DIBUKUKAN. READY STOCK : 110RB, HARGA DILUAR ONGKIR DARI BANDUNG. PM UNTUK YANG BERMINAT MENGOLEKSI VERSI CETAK. VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA.


SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS.

***

Author Playlist : Na nian de qing shu - Jiang Mei Qi

Draftnya sudah hampir satu tahun disimpan, dan sebelum tutup tahun saya ingin membagi sedikit dari ceritanya bersama kalian.

Enjoy! ^-^

***

"Nona muda tolong turun dari pohon itu sekarang!" Ju Fang—wanita muda berusia tiga puluh tahun itu berteriak keras, sekuat tenaga ia menekan keinginan kuatnya untuk ikut naik ke atas pohon cedar dimana Nona mudanya berdiri di atas dahan tertinggi tanpa rasa takut.

Ju Fang bisa saja nekat naik, namun ia kembali mengingatkan pada dirinya sendiri jika ia akan kesulitan turun nantinya. "Nona muda turun sekarang atau aku akan menghukummu!" teriaknya lagi, dengan debaran jantung yang semakin tidak menentu saat melihat putri asuhnya itu berjinjit, untuk melihat lebih jauh. "Nona, tolong turun sekarang juga, jangan paksa saya untuk menyusul anda naik," pintanya nyaris putus asa.

"Zian sudah kembali! Zian sudah kembali!" Chao Xing berteriak kegirangan, mengabaikan permintaan Ju Fang. Ia melompat kecil di atas dahan dan nyaris membuat ibu asuhnya itu pingsan di tempat karenanya. "Zian sudah kembali." Chao Xing berseru senang, dengan gesit ia turun lalu berlari sekuat tenaga untuk menyambut kedatangan Zian.

Ju Fang terduduk di atas rumput segar di bawahnya, wajahnya pucat-pasi karena rasa takut yang menyerangnya dengan hebat. Apa yang harus dikatakannya pada Mendiang Selir Rong jika sesuatu terjadi pada Chao Xing?

Wanita muda itu menggelengkan kepala pelan, dalam hati ia menegaskan jika nanti malam ia harus menghukum nona mudanya itu agar bersikap layaknya seorang putri bukan bersikap seperti bocah laki-laki berumur dua belas tahun.

Ju Fang perlahan berdiri, menepuk-nepuk kain roknya pelan lalu menengahkan kepala, menatap langit biru musim semi yang terlihat memesona. Dua belas tahun berlalu, namun hingga detik ini sepertinya Raja Jian Guo masih enggan menemui putrinya yang mulai beranjak dewasa.

"Sampai kapan anda akan menutup hati anda, Yang Mulia?" Ju Fang berkata lirih, begitu lembut selembut desau angin musim semi. "Puteri begitu mirip dengan Selir Rong," tambahnya dengan mimik sedih. "Anda akan menyesal Yang Mulia. Anda akan menyesal karena tidak melihat bagaimana Puteri anda tumbuh," lanjutnya sebelum berbalik, masuk ke dalam rumah sederhananya untuk menyiapkan makan siang.

***

"Zian kau sudah kembali!" Chao Xing berteriak girang, kedua tangannya terbuka lebar, menyambut kedatangan pemuda berusia delapan belas tahun yang terlihat gagah duduk di atas kuda jantan hitamnya yang perkasa. "Kau pergi lama sekali," keluh gadis kecil itu, bibir merahnya mengerucut lucu. "Lebih lama daripada biasanya."

Pertemuan Chao Xing dan Zian terjadi hampir empat tahun yang lalu. Chao Xing dan Ju Fang tidak sengaja menemukan Zian yang terluka hebat dan hampir mati kelaparan di kaki bukit. Keduanya lantas merawat Zian hingga pemuda itu sembuh, dan hubungan ketiganya pun terus terjalin baik hingga saat ini.

"Apa yang kau bawa untukku kali ini?" Chao Xing bertanya dengan ekspresi serius, sementara Zian menambatkan tali kekang kudanya pada sebuah pohon. "Jangan bilang kau tidak membawa apa pun untukku!" Chao Xing mulai merajuk, melipat kedua tangannya di depan dada.

"Chao Xing, apa kau percaya takdir?" tanya Zian tiba-tiba. Pemuda dengan wajah rupawan itu merebahkan diri di atas rumput, memejamkan mata, menikmati semilir angin yang memberinya kesejukan.

Kedua alis Chao Xing bertaut. "Apa kau menanyakan hal ini agar aku melupakan kesalahanmu?"

Zian terkekeh pelan, kedua kelopak matanya terbuka, menampilkan iris mata berwarna cokelat muda yang menawan. "Apa menurutmu pertemuan kita sebuah takdir?" tanyanya dengan nada suara berat.

"Mungkin saja," jawab Chao Xing asal. Gadis kecil itu mengambil sebuah batu kecil, lalu melemparnya pada sungai di depannya. Chao Xing menekuk lututnya, menopangkan kepala, namun tatapannya menerawang jauh. "Mungkin karena takdir jugalah ayahanda membuangku," tambahnya nyaris tak terdengar.

"Apa maksudmu?" Zian mendudukkan diri, menatap Chao Xing, penasaran. "Jadi kau masih memiliki ayah?"

Chao Xing mengangguk. Mereka memang tidak pernah membahas masalah ini, lagipula Zian tidak pernah bertanya. "Ayahku masih hidup," terangnya sendu. "Beliau tinggal di ibu kota bersama keluarga besarnya."

"Lalu kenapa kau tinggal bersama ibu asuhmu di tempat terpencil seperti ini?"

"Karena ayah membenciku," jelas Chao Xing hampir menangis, "Kelahiranku menyebabkan ibuku meninggal, dan ayah marah padaku karenanya."

Zian terdiam, kedua tangannya terkepal erat. Bagaimana bisa nasib Chao Xing tidak terlalu jauh berbeda dengan dirinya namun dengan alasan yang berbeda?

"Zian?!" panggil Chao Xing lirih.

Zian tidak langsung menjawab, dengan lembut ia membelai rambut hitam legam Chao Xing yang terurai indah.

"Mungkin ini hanya perasaanku saja," Chao Xing memalingkan muka, terlihat bingung untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. "Tapi, kadangkala aku seperti tidak mengenalimu," lanjutnya dengan kepala menunduk dalam. "Kadang kau begitu hangat, kadang sebaliknya." Chao Xing menggigit bibirnya. "Maaf jika aku menyinggungmu," tambahnya yang kemudian terpekik kaget karena Zian memeluknya erat.

"Kau harus bisa mengingatku, Chao Xing," bisik pemuda itu penuh permohonan. "Kau harus bisa mengenaliku," tambahnya parau. "Suatu hari nanti akan ada yang datang menjemputmu, dan jika saat itu tiba kau harus bisa mengenaliku. Apa kau paham?"

Chao Xing menggeleng di dalam pelukan Zian. "Apa maksudmu? Apa kau mau pergi lagi? Berapa lama?" tanyanya beruntun.

Zian tidak menjawab. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam hanfu­ hitamnya, lalu meletakkan benda itu di telapak tangan mungil Chao Xing. "Simpan benda ini baik-baik, apa kau mengerti?"

Chao Xing tersenyum. "Jangan main-main lagi. Kau pasti sudah lapar, ayo kita masuk, Bibi Ju pasti sudah menyiapkan makan siang yang lezat untuk kita," ujarnya riang.

Zian mengangguk pelan. "Kau masuklah lebih dulu, aku akan segera menyusulmu," tukasnya pada Chao Xing yang lugu.

Chao Xing pun berbalik, berjalan menuju rumah sederhananya dengan hati riang gembira tanpa menyadari jika setelah ini ia akan berpisah cukup lama dengan Zian.



TAMAT -  CHAO XING (朝兴)Where stories live. Discover now