Gadis Tanpa Bakat (1)

84 6 2
                                    

Di dunia ini, semua manusia lahir dengan bakat luar biasa yang berbeda-beda. Itu sudah fitrah bagi semua manusia. Namun, lain halnya dengan zaman sekarang yang begitu canggih. Bakat-bakat luar biasa yang diluar dugaan manusia mulai bermunculan, terutama pada tahun 2065 ini. Semua negara yang ada di bumi memutuskan untuk bersatu dan membentuk negara universal dengan satu ibu kota dan satu pusat pemerintahan. Negara ini sudah sama seperti yang ada di film-film yang pernah kita tonton tentang dunia masa depan. Teknologi berkembang pesat, hingga mobil pun tidak lagi menggunakan bensin untuk bahan bakarnya, melainkan dari olehan-olahan sampah yang ramah lingkungan.

Kembali ke bakat, manusia-manusia di masa depan ini memiliki bakat luar biasa diluar nalar. Salah satunya seperti teleportasi, kemampuan untuk berpindah tempat dengan cepat atau menjadi seorang pembaca pikiran. Di zaman ini semuanya sudah terlihat biasa, tak ada lagi yang istimewa dari bakat-bakat tersebut dikarenakan hampir seluruh rakyat di bumi ini memilikinya. Tetapi, tidak semua manusia memilikinya. Ada juga sebagian kecil manusia, atau bisa diperkirakan sekitar satu banding sepuluh juta manusia yang tidak memiliki bakat istimewa tersebut. Mereka yang menyadari diri mereka tidak memiliki bakat kebanyakan menjadi putus asa, pesimis, membenci dirinya sendiri bahkan sampai gila.

Sama halnya seperti gadis yang satu ini, gadis yang terlahir tanpa bakat istimewa padahal secara garis keturunan sudah dipastikan ia akan memiliki bakat seperti keluarganya. Menjadi seorang telekinesis, kemampuan untuk memanipulasi atau menggerakkan sebuah benda mati.

Setiap harinya gadis ini terus berusaha untuk memunculkan bakatnya itu, namun tetap saja hasilnya nihil. Ia tidak bisa menggerakkan benda apapun sekalipun itu adalah selembar tisu.

"Aku memang terlahir tanpa bakat, tak berguna," rutuknya pada diri sendiri.

Gadis itu membiarkan tubuhnya merosot di kursi yang ia duduki sambil sesekali menghela napas.

"Kamu ini kenapa sih, Rei? Jangan sedih dong hanya karena tidak punya bakat. Aku yakin kamu pasti memiliki bakat tetapi bakat itu belum kamu ketahui," sembur seorang gadis kepada Reika. Reika memperbaiki posisi duduknya dan kembali menghela napas.

"Kamu sudah mengatakan kalimat itu beratus-ratus kali, apa tidak bosan?" balas Reika kepada Viona. Viona hanya menggeleng. "Aku tidak akan berhenti mengatakannya sampai kamu memiliki semangat untuk menemukan bakatmu!"

"Aku tidak punya bakat, ini sudah takdirku. Aku tidak bisa menepisnya lagi, Viona," ucap Reika putus asa. "Dan berhentilah untuk memberiku nasihat-nasihat tak berguna itu lagi," sambungnya. Lalu Reika bangkit dan pergi keluar kelas meninggalkan Viona.

Viona berdecak kesal tapi dirinya sudah kebal dengan kata-kata sahabatnya itu. Walaupun Reika itu adalah gadis tanpa bakat, Viona terus memberinya semangat agar Reika tak berakhir sama dengan manusia-manusia tanpa bakat lainnya. Kali ini Viona membiarkan Reika pergi, ia yakin Reika pasti akan mendengarkan semua perkataannya, karena Viona adalah sahabatnya.

Reika berjalan dengan kesal meninggalkan kelasnya. Ia terus merutuki Viona dalam hatinya. Sambil berjalan ia terus menggumamkan sumpah serapah untuk gadis berambut hitam panjang yang telah menjadi sahabatnya tiga tahun terakhir ini. Reika berhenti di taman belakang sekolah, ia menuju salah satu pohon dan duduk di bawahnya. Siang ini tidak ada yang datang ke taman belakang sekolah karena matahari yang terik.

"Apa sih maunya Viona?! Yang merasakan tidak punya bakat itu kan aku, kenapa dia begitu yakin kalau sesungguhnya aku mempunya bakat?!" Reika bergumam sendiri. Sesekali ia mencabuti rumput-rumput yang ia duduki dengan kesal.

"Kenapa aku terlahir tanpa bakat? Apa yang telah kuperbuat?" lirihnya lalu ia mengelap matanya yang mulai kabur akibat air mata.

"Semua manusia itu memiliki bakat, semua manusia terlahir dengan bakat yang berbeda-beda. Semua ini tinggal masalah waktu dan semangat dari orang tersebut,"

Reika kaget bukan main mendengar suara itu. Itu bukan suara Viona dan itu bukan suara seorang perempuan melainkan suara seorang laki-laki. Reika celingak-celinguk melihat keadaan sekitar namun ia tak melihat seorangpun.

"Kau siapa?!" tanya Reika panik.

Tiba-tiba sebuah bayangan muncul dihadapannya dan perlahan membentuk tubuh seorang pemuda. Pemuda itu muncul tepat di depan Reika dengan posisi duduk menghadap Reika. Ia memberi senyum kepada gadis yang ada di depannya.

"Kau siapa? Aku tidak mengenalmu!" teriak Reika sambil memundurkan posisi duduknya.

Pemuda itu salah tingkah. "Eh, kau jangan teriak, aku tidak akan menculikmu," balas pemuda itu setengah berteriak. Reika mundur tetapi tubuhnya sudah tertahan oleh pohon. "Aku juga murid sekolah ini, mengertilah," ucapnya memelas.

Reika diam setelah mengamati pakaian pemuda itu yang tenyata sama dengan anak laki-laki yang ada di sekolahnya. "Perkenalkan, namaku Shane Parker, kau bisa memanggilku Shane. Aku dari kelas kesenian," ucapnya memperkenalkan diri. Reika mengangguk paham. "Reika, dari kelas sains," balas Reika pendek.

Wajah Shane berubah takjub lalu ia mendekati Reika dan menggenggam kedua bahu Reika. "Apa? Kau dari kelas Sains? Hebat!" kata Shane sambil menggucang tubuh Reika.

"Ya, tapi itu tidak berguna," timpal Reika ketus. Shane mentautkan alisnya seolah berpikir. Reika mengamati Shane dari atas hingga bawah. Pemuda dengan rambut pirang, tubuh tegap, berpenampilan rapi dan seperinya ia keturunan Eropa. Reika menjadi sedikit iri dengannya. Manusia dengan paras rupawan dan memiliki bakat 'Invisible Man' - manusia kasat mata.

Shane melepas genggamannya dan duduk di sebelah Reika.

"Kau tahu? Justru aku merasa orang-orang seperti dirimu inilah yang istimewa," ujarnya sambil menggerakkan tangannya seolah-olah sedang menulis di udara.

Reika bingung. Apa yang istimewa dari dirinya? Ia tidak memiliki bakat.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Reika.

"Karena di dunia ini semua orang telah memiliki bakat-bakat seperti yang kita lihat, dan menurutku itu tidak lagi menjadi sesuatu hal yang istimewa," jawabnya. "itu sudah menjadi hal yang biasa,"

Reika memutar matanya, ia tak habis pikir dengan apa yang telah dipikirkan pemuda yang baru dikenalnya ini. Seharusnya ia bersyukur, karena orang-orang seperti dirinya sangat menginginkan hal itu.

"Jadi maksudmu, jika bisa kau ingin menjadi seperti kami?" tanya Reika lagi. Shane mengangguk sambil menatap Reika. Reika tersipu melihat Shane yang begitu dekat dengannya.

"Eh, tunggu dulu," Shane menatapku seraya berpikir. "Kau ini Reika dari kelas sains kan? Kalau gak salah Reika Erina kan?" tanyanya lagi. Reika mengangguk. "Kenapa?"

"Kau kan yang mendapat peringkat pertama di kelas sains!" serunya lagi. Reika memutar mata dan mencoba untuk berbicara namun dipotong oleh Shane. "Kau luar biasa! Aku saja tidak lulus ujian untuk masuk kelas sains, karena aku suka menggambar juga jadi aku memutuskan untuk memilih kelas kesenian,"

"Akan lebih luar biasa jika aku memiliki bakat," ujar Reika ketus.

Shane menghela napas. "Sudahlah Reika, kau tidak perlu membahas itu lagi, bakat bakat dan bakat, apa sih yang kau inginkan dari itu?" kini Shane mulai kesal dengan Reika begitu juga sebaliknya.

"Karena kau tidak merasakan apa yang aku rasakan! Sudahlah, kau tidak akan mengerti, tak akan pernah mengerti!" seru Reika lalu ia berdiri dan berlari meninggalkan Shane. Shane hanya tertegun melihat Reika hingga tubuh gadis itu tidak terlihat lagi oleh pandangannya. Shane menghela napas berat. "Aku mengerti apa yang kaurasakan, Reika," lirihnya.

***

jangan lupa vote dan Mohon kritik dan sarannya. ^^

The Book Of MindworldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang