Remarry You

44K 1.2K 119
                                    

Nadia terbungkuk-bungkuk di depan wastafel mengeluarkan isi perutnya yang bahkan sesiangan ini belum terisi lagi. Meninggalkan jejak asam lambung pahit mencekat di pangkal kerongkongan, dan memancing untuk terus menguras cairan di dalamnya hingga tak bersisa.

Nadia merosot ke lantai, tubuhnya terasa lemas hingga ia harus menyandarkan punggung pada konter dapur agar duduknya tetap tegak. Ia menyeka bibir dengan punggung tangan, meninggalkan jejak merah marun di sekitar pipi bekas lipstiknya yang luntur. Belum pernah ia mengalami keluhan lambung disertai mual muntah hingga seperti ini. Lagipula, sejak beberapa hari lalu ia memang mengalami penurunan napsu makan drastis dan hanya menerima beberapa jenis makanan dengan jumlah tak banyak.

Hari ini sudah hari kedua Nadia memutuskan untuk bolos kuliah. Bagi seseorang yang amat peduli dengan pendidikan, hal ini mestinya tak bisa ia toleransi. Tapi Nadia benar-benar tak kuasa bahkan untuk menggerakkan tubuhnya dari ranjang ke kamar mandi. Tidak biasanya siklus bulanan Nadia datang semenyiksa ini. Maksudnya, tubuhnya memang mudah lelah dan kram di beberapa tempat, juga moodnya berubah-ubah dan kehilangan selera makan. Namun, yang seperti ini terasa asing bagi Nadia.

Intuisi wanita sekaligus intuisi dokternya mengatakan ada sesuatu yang ganjil. Seperti gejala ...

Nadia menggelengkan kepala. Terlalu lama berada di kamar mandi membuatnya berhalusinasi. Ia beranjak menuju dapur, menuang segelas jus jeruk lalu meneguknya lamat-lamat. Isi kulkasnya nyaris kosong. Sejak hidup sendiri, ia tak pernah bersusah payah memasak satu porsi saja untuk dirinya. Namun, dalam kondisi kurang sehat dan perut nyaris kosong, Nadia tiba-tiba saja ingin makan pangsit mie ayam hangat dengan bakso dan siomay.

Keinginan itu terasa begitu kuat hingga seolah memberi Nadia tenaga ekstra untuk menggerakkan tubuhnya. Nadia menyambar dompet dan jaket tebal dari atas meja kopi, lalu menunggu bus nomor 51 yang lewat setiap lima belas menit sekali di halte depan apartemennya.

Dalam perjalanan menuju Al:Amin, toko bahan makanan halal di Mills Road, bus yang Nadia tumpangi melewati gedung apartemen baru Harris yang memang lebih dekat ke rumah sakit tempatnya bekerja, sementara Nadia tinggal di apartemen lama mereka berdua karena dekat dengan kompleks Universitas Cambridge. Nadia benar-benar menahan dirinya untuk tidak melompat turun dan mengetuk pintu apartemen Harris di lantai dasar. Tidak.

Meski Harris berjanji untuk rutin mengajaknya makan siang bersama tepat setelah mereka dinyatakan resmi bercerai oleh lembaga agama Islam resmi di Inggris, namun undangan tersebut tak kunjung diterimanya. Lagipula jam segini, Harris pasti masih di rumah sakit.

Nadia memejamkan mata. Harris bahkan sama sekali tak pernah menghubunginya setelah mereka telah hidup sendiri-sendiri. Ia menempelkan wajah di kaca jendela bus yang tertutup, merasakan dinginnya udara bulan November di pipinya. Mungkin keputusan bercerai itu tidak semata karena dorongan mertuanya, tapi juga keinginan Harris sendiri. Nadia berusaha keras menepis sisi sentimental itu, namun ia memang masih belum bisa percaya bahwa kini ia telah berpisah dengan laki-laki cinta pertamanya.

Nadia melompat turun ketika tiba di tujuan. Ia lekas-lekas menembus udara dingin menuju supermarket. Nadia menghentikan gerakannya mengambil keranjang belanja. Lupakan soal mie pangsit, aroma shawarma kebaab dari stand makanan matang di Al:amin entah mengapa tercium begitu lezat. Nadia memesan satu porsi untuk dibawa pulang, juga nasi biryani dan roti pitta.

Nadia lekas membawa makanan matang itu ke rumah dengan harapan besar ia akan merasa kenyang untuk pertama kalinya selama seminggu ini.

***

Potongan terakhir daging biryani yang tertahan di rongga kerongkongan Nadia meluncur ke dasar wastafel dengan sia-sia. Nadia bersandar lemas di dinding shower. Segala energinya hari ini lunglai sudah.

Ugly Wife Where stories live. Discover now