BAB VIII

4.7K 341 50
                                    

8

Saat bulan sabit menggantung di langit, Widka sedang membersihkan pistolnya yang mulai berkarat. Sepanjang karirnya sebagai polisi, ia merasa bedil ini tidak pernah keluar dari sarungnya. Sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan, yang ia lihat di TV dan film-film koboi. Kehidupan polisi selalu dikelilingi bandit-bandit dan perampok yang mengacaukan kehidupan warga sipil. Setap hari dan setiap waktu mereka dihujani peluru, penuh laga dan aksi tembak-menembak. Setelah selesai, bersama cewek-cewek polisi itu hura-hura, meninggalkan mayat bandit yang berserakan seolah tidak pernah terjadi masalah.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Ia jumpai kehidupan polisi amatlah penuh perhitungan. Bandit dan sipil terlihat sangat samar. Perbedaannya ibarat antara tukang cukur Yahudi dan seorang diktator dalam film Charlie Chaplin: The Great Dictator. Namun statusnya justru mengakibatkan sesuatu yang sangat jauh, seperti antara korban dan algojo. Polisi yang seharusnya menangkap bandit, justru menangkap korban atau berlaku juga sebaliknya. Itulah kenapa setiap hari setiap waktu harus ia jalani keluhan warga secara bertubi-tubi, karena sistem dan perangkat polisi dalam menindak kejahatan jauh dari keputusan yang objektif. Lalu apa yang ia dapatkan hanyalah caci makian. Tetapi dia tidak menyesal meski pekerjaan yang ia lalui itu 'bedebah', namun masih bisa menghidupi dirinya sendiri, makan dan tidur tanpa kekurangan.

Widka mendapati Komandan Jo menghilang dari markas sekitar pukul setengah sembilan. Otomatis di pos hanya ada Widka dan Jimmy yang mendapat giliran jaga, dan tentunya si penjaga pos, Roni, yang setiap hari tidur di sepan kecil bersama bantal kesayangannya.

Setelah selesai membersihkan, Widka memasukan kembali psitolnya ke dalam sarung secara teliti dan hati-hati – memantapkan posisi sarung itu di pinggulnya. Dengan menggunakan jaket kulit berwarna hitam ia berjalan ke arah parkiran.

Di teras depan Polsek, Jimmy sedang memainkan gitar sambil nyanyi dengan suara yang fals. Mendadak ia berhenti sambil memandangnya.

"Pulang, Wid? Aku pikir bakal tidur di markas."

"Nggak pulang juga. Mau pergi dulu. Ini urusan laki-laki."

Jimmy terbahak. "Paling urusannya ke rumah bordil, sialan. Pergi sana. Hush.. hush.." candanya sambil mengusir Widka bak lalat.

Jreng...

Dan terjadi lagi... Kisah lama yang terulang kembali ... Kau terluka lagi... Dari cinta rumit yang kau jalani.

"Aah.. sial gue lupa kuncinya," jerit suara Jimmy terdengar dari kejauhan.

Di pos depan, terdengar bunyi televisi yang disetel dengan keras-keras. Terdengar pula suara para pelawak, dentingan gamelan, dan hentakan kendhang yang bertalu-talu. Widka mendengarnya sata melwati pos dengan jelas.

Bang, jualan kambing guling ya?

Kok, Eneng tau?

Mau dong digulingin sama Abang.

Yang bener aja. Kalau situ digulingin berarti situ kambing dong?

Widka melihat Ron tertawa terpingkal-pingkal, perutnya yang buncit bergerak naik turun gemulai, disela dengan suara musik gamelan mengiringi acara dan suara tawa penonton di studio di televisi. Berlinang air mata Ron itu rupanya, kemudian melihat kearah Widka sambil memegangi perutnya yang keram.

"Demi Tuhan, Ron. Kulihat perutmu semakin londoy begitu. Apa itu menyentuh batang pelermu?"

"Setidaknya masih didepan beberapa centi," katanya sambil tertawa. "Kau pulang, Wid?"

Polisi itu mengangkat sebelah tangannya tanda berpisah. Seketika suara motornya meraung, ia tancap gas lalu meninggalkan markas. Sejak tadi sore, Komandan Jo tidak memerintahkan apa-apa kepadanya setelah mengetahui Ruby hilang. Widka juga tidak tahu harus pergi kemana. Jadi dia sedang menimbang-nimbang untuk datang ke rumah Kolonel, mencari tahu apapun yang tertinggal di sana. Ide ini muncul ketika dia ingin mengambil foto Ruby yang dia ingat terpampang di atas buffet rumah Kolonel. Siapa tahu dengan bantuan foto itu dia bisa menemukan Ruby.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now