BAB IX

5.5K 390 70
                                    


9

Siang itu matahari sedang membara. Di markas yang biasanya teduh juga ikut memanas, bukan soal cuaca saja, tetapi juga gosip yang menyelimuti kematian Kolonel. Kisah kematian Kolonel Godam sampai saat itu masih menjadi isu yang kontroversi. Setelah berhari-hari wawancara sejumlah wartawan dengan Komandan Jo gagal memuaskan rasa penasaran yang ada. Hal itu pula yang membuat Komandan Jo terlihat uring-uringan seakan-akan dia baru mengeluarkan sesuatu dari duburnya dan merasa bersalah.

Hari itu juga Widka datang menghampiri Komandan di ruangannya, terlihat dia sedang membersihkan kacamata hitamnya dengan lap, kemudian menerawangnya kearah jendela dan membersihkannya lagi. Widka mengetuk pintu yang terbuka setengah, dua ketukan cukup membuat Komandan Jo menoleh kearah sumber suara.

"Masuk," kata Komandan dari balik mejanya.

Widka menghentakan tumitnya tanda hormat.

"Ada apa?" Tanya Komandan.

Widka berdehem "Aku tidak menyangka kejadiannya bakal begini. Semua orang tidak percaya dengan kisah Kolonel bunuh diri."

"Ya seperti yang kamu ketahui." Katanya Komandan menghela napas.

"Akan tetapi aku yakin Komandan tidak menembak Kolonel," Polisi muda itu tergagap, "bukan begitu?"

Komandan terbahak, "aku sudah berusaha mencegahnya asal kamu tahu. Namun kejadiannya terlalu cepat. Dia mungkin tidak tahan untuk menanggung segala akibat yang telah dia perbuat. Itulah kenapa dia mengambil revolver miliknya dan menembak kepalanya sendiri." Tambah Komandan.

Widka membayangkan sosok Komandan saat menantang duel satu-lawan satu melawan Kolonel. Matanya bersinar buas bak seekor serigala, suaranya yang kering itu terdengar berasal dari kebencian yang ditutup-tutupi, dan tak kalah berkesannya adalah saat melancarkan serangan. Widka tidak akan pernah melupakan wajah Komandan ketika melancarkan tinju-tinjunya yang tepat ke arah Kolonel, bukan untuk melumpuhkan, tetapi seperti ada energi buas untuk membunuhnya.

"Itulah kenapa aku bertanya soal ini kepadamu. Kulihat Komandan saat mengajak duel dengan Kolonel serasa ingin membunuhnya. Jadi aku sempat berpikir sejenak tentang suara tembakan itu."

"Jadi kamu pikir, ada kemungkinan aku yang membunuhnya Widka?"

"Tidak," katanya terbata-bata "tidak juga."

Untuk sejenak mereka terdiam. Lantas ingatan Widka tentang Ruby tidak bisa hilang di dalam kepalanya, iapun begitu penasaran.

"Bagaimana dengan Ruby yang hilang secara tiba-tiba di kosan Ibu Mariana?" Tanya Widka menggebu.

Komandan tercengang sedikit. "Tunggulah sampai mereka muncul, Widka. Mereka akan muncul satu persatu." Katanya setengah yakin.

Widka begitu terkejut dengan ucapan Komandan, ia tidak menyangka bahwa bossnya menampakkan wajah seperti hilang harapan tentang orang-orang yang terlibat dalam kasus ini.

"Jika tidak? Misalnya Ruby dan Sersan Tomo hilang entah kemana." Widka menatap Komandan sambil menunggu jawaban. Penasaran.

"Aku tidak ada bayangan," jawabnya hambar. "Kebenaran akan bicara sendiri pada waktunya, Widka. Bersabarlah." Kata Komandan membesarkan hati anak buahnya.

Dan lantas Widka memikirkan tentang Ruby. Jika memang Ruby yang dia lihat itu adalah berperan seolah-olah menjadi Alina, itu berarti sosok Alina dalam imajinya telah kehilangan daya tariknya, yang tersisa hanyalah objek biasa. Karena Widka menganggap sosok yang memenuhi ideal, penyebab voyeurismnya, adalah sosok Alina yang halus dan rapuh, bukan Ruby yang kasar dan tidak elegan seperti yang dia lihat di kos-kosan Ibu Mariana. Kesimpulannya, Ruby–Alina yang telah mengalami transformasi serupa, begitu Alina dilepaskan dari unsurnya, diangkat ke permukaan yang sebenarnya maka kecantikannya yang memikat akan sirna. Widka tidak memiliki minat lagi untuk memburu Alina-Ruby untuk sekedar mengintipnya dan besenang-senang, walaupun saat ini ada tepat di depan matanya.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now