BAB VI

4.6K 286 15
                                    

6

Bayang-bayang tentang Alina semakin hari semakin menganggu kesehatan Widka, bahkan trauma tentang gadis itu menyusup hingga mengganggu hasrat seksualnya. Diam-diam polisi muda itu menyisir rumah bordil di Jakarta Barat hanya mencari seorang gadis yang profilnya mirip dengan Alina. Dia datang sendirian saja, lalu mengamati pelacur-pelacur yang dipajang di sebuah panggung kecil. Di bawah sinar lampu yang remang-remang Widka mengamati pelacur itu satu persatu, kemudian menghilang tanpa menyewa satupun dari mereka. Begitu terus, dari tempat satu ke tempat yang lain.

Tempat pelacuran di Jakarta telah menjadi isu klasik yang menuai kontroversi. Ada pemerintah kota sebelumnya yang melokalisir pelacuran secara legal dengan konsekuensi menetapkan pajak yang tinggi. Tujuannya, selain menaikan pendapatan daerah, agar tempat-tempat seperti itu mudah diatur dan dibina. Tetapi polisi moral selalu menentang pemerintahan yang melegalkan pelacuran tersebut dan menuntut untuk menutupnya. Pemerintah itu berhasil digulingkan, tetapi tempat pelacuran terus tumbuh seperti jamur. Walaupun secara resmi di tutup, tetapi apakah praktek pelacuran yang menjadi titik permaslahan itu hilang? Tidak praktek pelacuran justru muncu sembunyi-sembunyi bak jamur. Sekarang, tempat pelacuran itu seperti dibiarkan begitu saja, tanpa induk semang yang mengatur kegiatannya. Walaupun jelas-jelas ada larangan, tetapi pemerintah kota tidak benar-benar serius memburu untuk menutupnya. Kini praktik pelacuran bukan lagi soal dosa lendir, melainkan: premanisme, minuman keras, narkotika, dan kekerasan.

Waktu hampir tengah malam. Setelah memarkir Kawasakinya di pinggiran kali, Widka menginjakkan sepatu botnya kembali di jalanan becek. Dengan menggunakan topi koboi, kacamata hitam, dan jaket kerah tinggi, polisi itu nampak seperti orang yang sedang menyamar. Namun alih-alih menyamar, ia justru menjadi pusat perhatian banyak orang karena pakaiannya yang tidak wajar.

Setelah melewati beberapa gang ditawar kesana-kemari, akhirnya dia sampai di rumah bordil milik Jon. Rumah bordil di sana dibangun di pinggiran kali, bangunannya dibuat kokoh dan memiliki dua lantai. Lantai dasar di gunakan untuk transaksi dan lobby para penjaja cinta. Di tempat itu juga disediakan panggung kecil yang digunakan untuk memajang pelacur-pelacur agar pelanggan bisa melihatnya sebelum transaksi dimulai. Di lantai atas di bangun kamar-kamar dengan bilik papan seadanya. Di tempat inilah para kupu-kupu malam dan pasangannya menghabiskan malam bersama.

Sekarang Widka berniat untuk menyewa salah satu dari mereka. Mudah-mudahan dengan membawa sebuah gaun satin merah - yang persis dimiliki Alina - bisa mengembalikan hasrat seksualnya . Dia membelinya tadi siang di sebuah mall.

Widka duduk kalem di sofa pengunjung. Tampaknya dia tidak masalah dengan kacamata hitamnya walaupun di dalam rumah lampu remang-remang. Dengan lagu dangdut tarling yang bising Widka melihat nanar semua pengunjung yang ada di sana, duduk di sebuah kursi pelanggan yang mengarah ke panggung. Dia berhadapan dengan pelacur-pelacur yang duduk berjejer. Matanya mengikuti garis horizontal perlahan dari kanan ke kiri mengamati mereka satu persatu. Tidak ada yang mirip Alina. Pandangannya berubah mengamati sekeliling rumah bordil pengunjung, pelacur, jongos, dan germo berbaur dalam kilatan lampu cahaya disko.

Widka memanggil seorang jongos, namun suara sound system menenggelamkan perhatian suara lainnya. Ia bergerak-gerak hebat untuk mendapat perhatian. Berhasil. Seorang jongos menolehnya dan polisi itu langsung meminta bir. Jongos siap siaga di samping kulkas dan menghantar pesanannya.

Widka kembali mengamati pelacur yang di pajang. Rata-rata dari mereka mengenakan baju yang bergaun tipis hingga setiap bentuk lekukannya terekspose dengan jelas. Dia mengulangi gerakan matanya sambil meminum bir. Dari balik kacamata hitamnya, pupil itu bergerak perlahan dari kanan ke kiri. Setelah habis satu botol, tiba-tiba dia menoleh tajam saat pelacur baru nongol dari balik pintu. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju kursi yang berseberangan dengan para predator. Pelacur itu berkulit putih dan berambut coklat. Bagi Widka, penampakan pelacur itu sekilas mirip dengan Alina jadi dia putuskan untuk menyewanya. Ia berjalan kalem ke jongos yang memiliki tompel di lehernya. Berbisik untuk segera membooking pelacur yang baru saja datang itu. Ia keluarkan uang dari dompetnya. Membayar. Tidak ada yang lebih murah atau lebih mahal, semua telah dipatok dengan harga yang sama. Dia amati lagi pelacur itu yang memakai tangtop putih dengan celana hotpants berwarna hitam itu. Tubuhnya agak pendek dari bayanganya - Alina - tetapi lumayanlah. Selesai membayar, jongos memanggil pelacur itu. Dia mengangguk paham dan membawa Widka berjalan ke lantai atas. Di lantai atas tersedia bilik-bilik kamar yang disekat sederhana dengan triplek. Lantainya terbuat dari papan-papan kayu yang dipaku seadanya. Sekarang keduanya berada di kamar kupu-kupu malam. Widka melihat sekelilingnya, nampak sebuah kasur kapuk dan lemari plastik dan foto-foto pelacur itu di dinding. Untuk sejenak mereka berdua saling berdiaman dan Widka merasa gundah dengan suasana yang tidak biasa.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang