BAB II

12.8K 732 75
                                    

2

"Aku merasa harus mengangkat dua jempol untukmu, Komandan," kata Widka termangu-mangu. "Kau bisa membuat pelaku yang awalnya hanya bilang 'tidak tahu – tidak tahu' saat dimintai keterangan, pada akhirnya berlinang air mata juga mengakui kejahatannya. Sesekali kau mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan perhatiannya. Dan disaat yang tepat, Komandan menggiringnya kembali dengan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya. Hasilnya pelaku tidak bisa mengelak lagi soal kebohongannya."

"Widka... Widka," kata Komandan Jo sambil menggeleng-gelengkan kepala, "kalau kamu begitu kagum dengan hal-hal seperti itu, berarti banyak hal yang harus kamu pelajari sebagai polisi," tambahnya tanpa cemooh.

Malam itu Widka sedang melaju mobil patrolinya di udara terbuka melewati jalan utama di tengah kota Jakarta. Di jok samping pengemudi, terlihat Komandan Jo yang sedang menatap jalan. Mereka berdua sedang mengangkat kembali kejadian pembunuhan yang terjadi di wilayahnya. Tepat sepuluh hari yang lalu, polsek disibukkan dengan penemuan mayat perempuan di tengah jalan. Ini tidak seperti biasa, karena mayat itu terbengkalai dengan posisi yang menyedihkan. Di sana-sini tubuhnya dipenuhi luka yang menganga. Entah sebelum mati atau sesudahnya, mayat itu di hajar habis-habisan, sana-sini menderita luka lebam dan luka sayatan. Widka hanya bisa menebak-nebak: apakah gadis itu diseret di tengah jalan saat sudah mati atau belum. Namun apapun itu, dari caranya melihat korban, ada unsur kebiadaban dalam diri pelaku pembunuhan. Jika memang ada berniat membunuh, cukuplah dengan satu hantaman yang mematikan. Tapi ini adalah sesuatu yang lain: gadis itu mati dengan penyiksaan yang kemudian mayatnya dibiarkan di tengah jalan. Seolah dipamerkan begitu saja agar dilihat banyak orang. Kurang dari empat puluh delapan jam polisi menemukan pelakunya yang tidak lain adalah mantan pacar korban.

"Tapi aku tidak bisa membayangkan sakit hati dan cemburu bisa mengubah seseorang menjadi bajingan. Komandan kau bisa bayangkan itu, apa ada alasan seseorang untuk menyiksa si mati sedemikian parahnya?"

"Betul, rasanya sulit diterima kenapa pelaku bisa sampai bertindak seperti itu. Tapi satu hal yang aku ketahui pasti: rasa iri dan cemburu adalah komponen dasar hasrat manusia. Itulah motif dasar pelaku untuk balas dendam. Sifat-sifat seperti itu bisa mengubah manusia menjadi seorang bajingan. Walaupun pada dasarnya pelaku tidak menghendaki pembunuhan itu. Seperti ada ledakan emosi. Kamu tahu itu?"

Widka menggut-manggut seolah sepaham. Tapi kemudian merasa tidak sependapat.

"Bukankah itu aneh, Komandan? Soalnya macam-macam nih aku pikirkan tentang pelakunya."

"Macam-macam? Maksudnya?"

"Aku menduga bahwa perilaku seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang sadis. Orang gila. Kamu tahu itu Komandan? Semacam psikopat."

"Tidak juga," ia menggeleng-geleng kepalanya. "Pelaku bukan pembunuh patologis. Dia hanya seseorang cowok yang malang. Emosi sesaat yang membuat dia gagal mengendalikan sifat-sifat seperti itu." Ia terhenti sejenak, "bukankah setiap orang memiliki sifat-sifat cemburu? Kita semua. Bahkan kita ini yang merasa diri kita normal sekalipun memiliki sifat yang demikian walaupun dalam kadarnya."

Terdiam sejenak. Jeda beberapa saat membuat Komandan Jo kembali berbicara: "Akupun pernah patah hati, Widka. Kalau kamu mau tahu."

Widka meliriknya tajam, seolah tidak percaya kelakar bosnya. Walaupun dia belum lama bekerja sama dengannya, namun dia bisa menakar bahwa bosnya adalah seorang playboy tulen. Seperti kata Gulam: "Komandan Jo mempunyai kebiasaan pergi ke tempat pelacuran. Entah beberapa kali dalam sebulan. Sekali atau dua kali. Kita tidak ada yang tahu pasti. Tetapi memang itulah cara dia untuk menghibur dirinya sebagai pria yang hidup melajang." Diam-diam di markas orang-orang menjulukinya 'Si Pemburu Lonte'–tentu hal ini tanpa sepengetahuan Komandan Jo. Membayangkan itu membuat Widka tertawa-tawa sendirian.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now