BAB III

7.8K 542 12
                                    

3

"Lalu kamu terima tawaran Kolonel itu, Widka?"

"Benar... Tentu atas seizin Komandan."

Sementara Komandan Jo merenung, Widka menunggu.

Siang itu Widka dan Komandan Jo sedang berada di ruangan Kapolsek yang berukuran 3x3 meter. Di sana terdapat meja yang diapit dua kursi. Di atas meja terdapat monitor komputer yang layarnya sudah mulai menguning, bendera Indonesia berukuran kecil, tempat pulpen, kalender, HT, dan berkas-berkas catatan milik Komandan Jo. Di dinding terdapat peta Jakarta yang terbentang lebar dengan titik-titik yang telah ditandai sebagai daerah yang rawan. Di sudut ruangan terlihat sebuah lemari panjang, dari sana berjejer buku-buku yang tersusun teratur.

"Komandan Jo rapi juga," Widka membatin.

Saat ini, Widka sedang mengutarakan ke atasannya perihal menjaga putri Kolonel Pekerjaan ini otomatis membuat Widka absen selama satu bulan dari tempat ia bekerja. Akankah ia diizinkan oleh pimpinannya itu? Namun tatkala Widka merasa cemas menunggu titahnya, suara perut Komandan itu berbunyi.

"Ku dengar gulai Pak Tohir, di jalan Merawan sana enak. Di depan Komplek. Kamu mau mencobanya?"

Bohong, kata siapa gulai disana enak? Rasanya asam dan mahal pula. Widka mengerti bahwa bosnya itu mencari tempat yang pantas untuk membicarakan hal ini. Mereka berdua berjalan keluar ruangan, melewati teras – mendapati Gulam dan Jimmy yang sedang asik ngobrol – serta Roni yang sedang menjaga Pos, menyetel TV.

Matahari sedang ganas membakar kulit. Widka merasa otaknya sedang digarang, berjalan tanpa ampun dan tanpa komentar, tetapi dalam hatinya dia membatin: "Kenapa sih harus makan gulai pak Tohir?" Widka melihat kearah Komandan Jo: kemejanya lengket kena keringat, berjalan tergopoh-gopoh seperti hendak mengapeli pacar.

Matahari yang membara membuat perjalanan makan siang mereka penuh perjuangan.

Ketika sampai di tempat pak Tohir, dia mendapati sang empunya sedang mengipas-ngipas bara hingga asapnya ngepul menyamarkan wajahnya. Pemilik kedai ditaksir umurnya sekitar 50 tahunan, kurus dan memiliki kumis yang tumbuh lebat di pinggirnya saja. Seperti kata orang: kumis lele. Saat dia melihat pelanggannya masuk, ia tergagap-gagap ingin menyapa.

"Aaa.. Hayu.. hayu.. Silahkan.. Silahkan.. Silahkan duduk... duduk saja dimana kalian suka," kata pak Tohir setengah berteriak tanpa beranjak dari tempatnya.

"Selamat Siang pak Tohir. Kami datang untuk gulai kambing dan keripik kentang baladomu," sapa Komandan Jo ramah.

Dari bilik, keluarlah non Tiara, gadis yang membuat tatapan Komandan Jo terpaku pada gerak-geriknya. Tahulah apa yang membuat dia makan di sini. Sialan. Non Tiara itu tipikal gadis desa: rambut panjang yang dikuncir, kaos belel dan menggunakan celana seperempat. Kulitnya sawo matang serta sorot matanya yang lembut membuat dia kelihatan manis ketimbang cantik. Usianya sulit ditebak lantaran gaya bicaranya yang masih bocah, tetapi wajahnya dan tubuhnya tidak demikian – dia adalah gadis dewasa.  Ketika semua pesanan sudah dia ingat, gadis dengan kuncir merah jambu itu pergi meninggalkan mereka. Dengan gerakannya yang kasar terlihat pinggulnya yang besar itu berlenggak-lenggok hingga menyihir otak satu pria cabul. Komandan Jo.

 "Kamu nggak peduli dengan ukuran teteknya, Widka. Kamu udah dapetin pinggulnya yang besar, pinggul yang penuh daging. Pas.... Sesuai dengan kesukaanku," ia meringkik kegirangan, lantas menjilat bibirnya seperti kadal.

"Jangan dilihat begitu," Widka membeliak, "bisa habis nanti."
"Tidak akan aku habiskan kalau yang begini," gumamnya menimpali. "Kau tahu sendirikan, gadis ini bukan impianku. Cuma kesenangan sesaat saja."
Sial. Widka hampir saja lupa dengan tema pembicaraan yang mengundahkan hatinya. Komandan sama sekali lupa perihal penawaran Kolonel untuk menjaga putrinya. Tatkala kesabaran Widka sudah habis, ia tidak lagi berbasa-basi.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now